JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Ombusdman RI menilai ada dua potensi maladministrasi dalam SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 01 tahun 2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan. Kendati demikian, asumsi awal ini perlu dilakukan melalui pembuktian tindak lanjut.
Komisioner ORI Yeka Hendra Fatika menuturkan ada dua dugaan atau potensi maladministrasi yang cukup berat. Pertama adalah perizinan. Menurut Yeka, setiap izin memuat kewajiban pemegang izin dan evaluasi oleh pemberi izin dalam hal ini KLHK. Bila fungsi evaluasi tersebut berjalan, maka bisa terdeteksi bila ada pelanggaran yang dilakukan pemegang izin.
“Apabila hasil evaluasi telah ditemukan adanya pelanggaran namun tidak diambil tindakan atau pemberian sanksi, maka sesungguhnya tidak hanya pemegang izin yang melakukan pelanggaran, tetapi tindakan tersebut dapat mengarah pada tindakan maladministrasi oleh penyelenggara negara,” terang Yeka.dalam webinar bertajuk Konsekuensi dan Solusi Pencabutan 3,1 Juta Ha Konsesi Kawasan Hutan yang berlangsung hari ini, Kamis, 7 April 2022.
Dalam kesempatan itu, Yeka tidak menampik bahwa ada potensi maladministrasi dalam SK 01 tersebut. Namun, menurut dia hal itu masih perlu pembuktian lebih lanjut.
Ada potensi pelanggaran kedua ada pada konteks pertanahan. Yeka menjelaskan, HGU adalah hak atas tanah sesuai UU pokok Agraria, bukan izin. Maka, instansi yang berwenang mengatur adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Bila tanah tersebut ditelantarkan, HGU-nya bisa dicabut. Namun, kewenangan mencabutnya ada pada Kementerian ATR/BPN, bukan KLHK.
“Jika pembatalan dilakukan oleh bukan yang berwenang, maka hal tersebut dapat mengarah pada terjadinya maladministrasi,” lanjut Yeka.
Dengan adanya dugaan maladministrasi ini, Yeka mempersilakan apabila ada laporan pihak-pihak yang terdampak keluarnya SK tersebut kepada Ombudsman. Ombudsman memiliki 34 kantor perwakilan di seluruh Indonesia. “Kami wajib menyelesaikan pengaduan mayarakat,” tuturnya.
Sebenarnya, ujar Yeka, Ombudsman punya wewenang untuk melakukan inisiatif pemeriksaan tanpa pengaduan. Informasi awal sudah cukup sebagai bahan pemeriksaan, namun, proses yang lebih rumit akan muncul saat inisiatif itu dibawa ke rapat pleno. Karena semua pimpinan harus sepakat dengan inisiatif tersebut. Lain halnya bila berangkat dari pengaduan masyarakat, di mana Ombudsman wajib menindaklanjuti.
Namun, Yeka menggaris bawahi bahwa pihaknya tidak mendorong masyarakat untuk melapor. Melainkan membuka ruang bila ada pihak yang melaporkan dugaan maladministrasi tersebut. Bila terbukti, instansi yang bersangkutan akan diberi waktu untuk melakukan tindakan korektif sesuai rekomendasi Ombudsman. Bila diabaikan, maka akan berlanjut pada tahap evaluasi monitoring.
“Kami berwenang mengumumkan ke publik kalau ada maladministrasi. Ombudsman memberi saran tindakan korektif kepada Presiden terhadap kementerian yang bersangkutan untuk melaksanakan,” jelas Yeka.
Menurut Yeka, selama dirinya menjadi komisioner Ombudsman, dia belum pernah melihat presiden mengabaikan saran dari Ombudsman. “Presiden mendengarkan masukan dari Ombudsman dan mengadopsinya meski tidak 100 persen,” ucapnya.
Sebagaimana diketahui, SK nomor 01 tahun 2022 tentang pencabutan izin Konsesi Kawasan Hutan mengatur sejumlah hal. Ada tiga lampiran dalam SK tersebut. Lampiran pertama berisi daftar izin konsesi kawasan hutan yang dicabut antara September 2015 sampai Juni 2021 sebanyak 42 perusahaan dengan luas area 812.796,93 ha.
Kemudian, lampiran kedua berisi daftar perizinan/perusahaan konsesi kehutanan yang dilakukan pencabutan. Mencakup 192 perusahaan dengan luas area total 3,1 juta ha. Sementara, lampiran ketiga berisi daftar perizinan/perusahaan konsesi kehutanan yang dilakukan evaluasi. Mencakup 106 perusahaan dengan luas area total 1,3 juta ha.
Konsekuensi perbedaan status perusahaan yang dicabut dalam lampiran SK itu menyisakan proses administrasi pemerintahan yang sedikit membingungkan dan juga meragukan.