Pungutan CPO Fund produk hilir sawit ditentang pelaku industri. Berakibat kepada turunnya daya saing ekspor dan terhentinya kegiatan bisnis. Ekspor hilir diperkirakan turun 30% lebih jika pungutan ini tetap dijalankan pemerintah.
Pemerintah dinilai tidak berpihak kepada program hilirisasi sawit apabila mengenakan pungutan CPO Fund kepada produk hilir sawit. Dampaknya, produk turunan sawit Indonesia tidak mampu bersaing dengan kompetitor di luar negeri seperti Malaysia.
Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), mengatakan pihaknya terkejut setelah mendengar putusan Rapat Gabungan Tim Tariff yang mengenakan pungutan sebesar US$ 20 per ton kepada ekspor biodiesel. Pasalnya, tidak ada wacana pungutan CPO Fund dan bea keluar untuk biodiesel.
Menurutnya, kebijakan pungutan ekspor biodiesel kian memperburuk bisnis biodiesel industri dalam negeri. Lantaran, penyerapan biodiesel bersubsidi (Public Service Obligation)domestik tidak ada sama sekali dari Februari sampai Juni sekarang. Di sisi lain, ekspor biodiesel juga menghadapi hambatan perdagangan (trade barrier) seperti tuduhan dumping dari Uni Eropa.
“Kondisi sekarang kita sulit untuk masuk Eropa akibat tuduhan subsidi. Walaupun belum terbukti mereka lalu membuat tuduhan dumping duty dengan besaran berbeda-beda. Adanya pungutan biodiesel menjadikan negara tetangga (red-Malaysia) menguasai pasar biodiesel global, sedangkan Indonesia sebagai penonton,” kata Paulus dalam diskusi dengan media pada Jumat (12/6).
Menurutnya, pungutan ekspor biodiesel tidak fair serta memberatkan pelaku usaha. Ibaratnya, kami ini sudah jatuh tertimpa tangga. “Pelaku industri minta pemerintah supaya pungutan ini ditiadakan. Kami ini sudah berdarah-darah,” tambah Paulus Tjakrawan.
Keluhan serupa datang dari pelaku usaha yang tergabung dalam Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI). Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI, menyebutkan pungutan CPO Fund produk hilir sawit berpotensi menekan ekspor sawit secara keseluruhan pada tahun ini. Besaran tarif antara lain pungutan US$ 20 per ton kepada produk hilir RBD Palm Kernel Olein (PKOL), RBD Palm Kernel Stearin (PKS), dan RBD Olein kemasan serta bermerek. Pungutan ekspor sebesar US$ 30 per ton dibebankan kepada produk Splitt Fatty Acid dari Crude Oils.
Pada awalnya, kata Sahat Sinaga, asosiasi mendukung kebijakan CPO Fund yang hanya memberlakukan pungutan ekspor sebesar 50 dolar per ton kepada CPO dan 30 dolar per ton untuk olein. Dengan keputusan tim tarif sekarang yang mengenakan pungutan bagi semua produk hilir sawit, pihaknya mengajukan protes karena menekan daya saing ekspor sawit.
“Program hilirisasi jangan dikorbankan dengan kebijakan pungutan. Idealnya, pemerintah itu membuat regulasi yang dapat mendorong dan mempercepat volume ekspor. Apalagi, Kementerian Perdagangan menargetkan pertumbuhan ekspor 300% dalam lima tahun ini. Kalau pungutan diberlakukan ekspor sawit akan turun sampai 35% untuk tahun ini,” keluh Sahat.
Sahat Sinaga menyebutkan investor tidak akan lagi percaya kepada pemerintah apabila penetapan tarif ekspor produk hilir tetap diberlakukan. Solusinya, pelaku industri hilir mengharapkan besaran pungutan dana perkebunan serta bea keluar dapat disesuaikan dengan besar kecilnya nilai tambah di masing-masing produk ekspor.
(Lebih lengkap baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi Juni-Juli 2015)