Pasar ekspor sawit terbilang berat hingga akhir tahun ini. Kebutuhan domestik menjadi harapan untuk seimbangkan suplai dan permintaan. Pergerakan harga CPO di pasar global menolong cashflow perusahaan sawit.
“Industri masih berjalan normal. Kendati ada perbedaan saat pandemi karena memang ada pembatasan. Namun, sekalilagi kita bersyukur operasional berjalan baik dan kinerja positif ditengah situasi perekonomian nasional dan global mengalami kontraksi,” ujar Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
Dari catatan GAPKI, ekspor produk sawit Indonesia turun 11,68% di pertengahan pertama 2020, menjadi sebesar 15,50 juta ton lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu berjumlah 17,55 juta ton. Joko Supriyono menyebutkan semua negara tujuan ekspor mengalami kontraksi permintaan. Negara tujuan ekspor mengalami lockdown sejak Februari kemarin. Pasar utama ekspor seperti Uni Eropa, India, dan Tiongkok mengalami pelemahan permintaan yang sangat signifikan.
Memasuki semester kedua, dikatakan Joko, aktivitas ekonomi China, India dan banyak negara lain mulai pulih sehingga permintaan akan minyak nabati untuk kebutuhan domestiknya mulai naik. “Tetapi belum dapat diprediksi berapa kenaikan ekspor hingga pengujung tahun ini,” papar Joko.
Untuk konsumsi domestik, penggunaan sawit di sektor oleokimia dan biodiesel dapat menjadi penopang ekspor. Joko mengakui konsumsi domestic untuk oleokimia naik 39% yang Sebagian besar dipakai untuk produk sabun dan kebersihan tangan (hand sanitizer). Termasuk juga penggunaan sawit untuk B30 juga mendukung ditengah segala kendalanya.
“Kegiatan ekonomi Indonesia juga sudah mulai pulih sehingga kedepan permintaan minyak sawit untuk pangandi perkirakan juga akan naik mengikuti permintaan oleokimia dan biodiesel. Kenaikan permintaan dan membaiknya harga minyak bumi diperkirakan akan menyebabkan harga minyak nabati naik,” jelas Joko.
GAPKI memiliki data untuk konsumsi dalam negeri bulan Juni yang masih lebih rendah dibandingkan dengan bulan Mei, diduga masih disebabkan oleh PSBB. Konsumsi untuk panganturun 3,9% menjadi 638 ribu ton. Persentase penurunan konsumsi pangan lebih rendah dari rata-rata penurunan 3 bulan sebelumnya sebesar 5,4%. Konsumsi biodiesel pada Juni turun sebesar 5,4% dari bulan Mei menjadi 551 ribu ton.
Namun, data Januari-Juni menunjukkan konsumsi dalam negeri sebesar 8.665 ribu ton atau 2,9 % lebih tinggi dari periode sama tahun lalu. Rapolo Hutabarat, Ketua Umum APOLIN, mengakui produk oleokimia meningkat permintaannya di kala pandemi. Pasalnya, industri sabun dan personal care memerlukan fatty acid dan fatty alcohol.
“Kondisi sekarang, masyarakat Indonesia dan dunia pasti mengantongi produk sanitasi dalam aktivitas mereka. Wajar saja, produk oleokimia mengalami peningkatan dari kontribusi industri oleokimia,” ujarnya.
“Pasar domestik merupakan harapan ditengah merosotnya ekspor. Kalau tahun lalu, kontribusi domestik sebesar 31%. Sampai tengah tahun ini, konsumsi dalam negeri sudah 37%. Makanya, pasar domestik dapat menjadi penyeimbang,” ujar Joko Supriyono,
Di sektor hilir, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) menyebutkan, pemerintah dan semua pemangku kepentingan berkomitmen melanjutkan program mandatori pencampuran biodiesel 30% (B30), meskipun harga minyak bumi terus merosot dan pandemi Covid-19 berpotensi makin mengurangi penggunaan biodiesel di pasar domestik. Pada Maret 2020, konsumsi biodiesel di pasar domestik masih sebesar 784.266 kilo liter (kl) namun pada Juni turun menjadi 643.602 kl.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 106)