JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Asian Agri telah lama berkomitmen membangun kemitraan bersama petani plasma sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan dan melindungi lingkungan. Hingga sekarang, sudah 29 ribu petani dengan luasan lahan 60 ribu hektare yang menjadi mitra perusahaan.
Dalam Conference of Parties 21 di Paris, Perancis, Rabu 3 Desember 2015, Managing Director Asian Agri, Kelvin Tio, mengatakan Asian Agri sebagai salah satu perusahaan perkebunan sawit terbesar di Indonesia menyadari pentingnya pengelolaan perkebunan sawit secara berkelanjutan dan pada saat yang sama juga dapat meningkatkan kesejahteraan petani sawit”
“Asian Agri telah saat ini telah menggandeng 29.000 petani dengan melibatkan 60.000 ha lahan sawit untuk dikembangkan dengan pola inti-plasma, kemitraan antara perusahaan dengan petani. Skema kemitraan itu telah dikembangkan selama 28 tahun dan salah satu pola inti-plasma terbesar di industri sawit. Dengan pengalaman tersebut, Asian Agri optimistis pola tersebut dapat diterapkan kepada para petani swadaya yang mengelola perkebunannya secara mandiri” tambah Kelvin dalam siaran pers yang diterima SAWIT INDONESIA.
Menurutnya, pendampingan terhadap petani swadaya perlu dilakukan guna meningkatkan produktivitas hasil perkebunan serta menjamin akses terhadap pasar yang lebih terjamin. Selain itu, petani swadaya memperoleh pengetahuan secara langsung dalam mengelola perkebunan yang mengedepankan kelestarian lingkungan sehingga produknya memiliki nilai tambah di pasaran.
Asian Agri secara bertahap melakukan pendampingan terhadap petani swadaya pada 2012. Hasilnya, saat diluncurkan pada tahun 2012 lalu, sekitar 2.791 ha lahan perkebunan petani swadaya, tergabung dalam program kemitraan tersebut.
Saat ini ada lebih dari 17.000 ha lahan yang merepresentasikan lebih dari 5.000 keluarga petani swadaya, telah bergabung di dalam program tersebut dan menikmati pendampingan dan fasilitasi dari Asian Agri.
Perusahaan mematok targetnya hingga 2020 dapat memberikan pendampingan secara optimal kepada petani swadaya dengan luas lahan hingga 60.000 ha.
Dengan demikian, lima tahun ke depan perusahaan dapat berperan meningkatkan kesejahteraan petani dengan melibatkan pengelolaan 120.000 ha lahan sawit dengan pola inti plasma maupun swadaya.
“Pola kemitraan tersebut dapat mendorong produktivitas petani, meningkatkan kesejahteraannya, serta memberi manfaat terhadap produk sawit berkualitas yang dihasilkan,” ungkap Kelvin.
Ditambahkannya, industri sawit di Tanah Air dapat terus berproduksi tanpa harus melakukan pembukaan lahan baru atau ekstensifikasi, melainkan melakukan intensifikasi melalui peningkatan kemitraan dengan petani serta perbaikan cara-cara pengelolaan perkebunan.
Indonesia, dengan luas kebun sawit mencapai 11 juta ha yang terdiri dari 51% dikelola perusahaan swasta, lalu 7% dikelola perusahaan negara, dan sisanya sekitar 42% dikelola oleh petani, menegaskan komitmen mengedepankan prinsip pengelolaan perkebunan sawit yang berkelanjutan dan memberikan dampak bagi kesejahteraan petani.
Bagi pelaku bisnis di Indonesia, terutama yang bergerak di industri sawit berkepentingan dalam menyelaraskan pengembangan industri sawit dengan agenda perubahan iklim. Dalam sesi pertemuan European Palm Oil Conference (EPOC) di Milan, Italia yang berlangsung pada 27-28 Oktober 2015, Eropa merupakan pasar utama bagi sawit Indonesia. Pada 2014 sekitar 3,09 juta ton sawit Indonesia masuk ke Eropa, terbesar ketiga setelah ke India 3,87 juta ton dan ke China 3,2 juta ton.
Dari data tersebut tergambar seberapa besar potensi ekspor yang bisa dicapai Indonesia. Industri sawit sejauh ini tercatat sebagai penyumbang ekspor di Tanah Air. Selain itu, dampak terhadap kesejahteraan petani juga terasa sehingga mampu membawa misi dalam pengentasan kemiskinan. Besarnya potensi pasar bagi industri sawit, para pelakunya dihadapkan pada tantangan agar terus mampu melanjutkan praktik-praktik pengelolaan perkebunan yang berkelanjutan yang menekankan pada aspek perlindungan lingkungan.