Mencegah kebakaran, konservasi lahan dan peningkatan pendapatan masyarakat adalah target utama program Desa Makmur Peduli Api (DMPA).
Peristiwa kebakaran lahan dan hutan yang terjadi pada 2015 lalu menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, tak terkecuali perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat yang ada di lokasi terdampak. Berpijak dari peristiwa itu perusahaan perkebunan ternama, Sinarmas Agribusiness and Food (SMART) pada 2016 menginisiasi Desa Siaga Api (DSA) untuk menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga wilayah dari kobaran api.
Susanto Yang, Chief Executive Office PT SMART Tbk Kalimantan Barat, membeberkan awal mula program pencegahan kebakaran lahan yang terus berjalan sampai sekarang, saat menjadi pembicara International Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE 2018) pada akhir April lalu. Pada 2016 pihaknya menyebut program pencegahan api dengan Desa Siaga Api, kemudian dikembangkan menjadi program Desa Makmur Peduli Api (DMPA) dengan tujuan selain mencegah kebakaran sekaligus mengangkat kesejahteraan masyarakat.
“Intinya, kami ingin mengajak partisipasi aktif dari masyarakat dalam upaya mencegah kebakaran, poinnya mencegah kebakaran bukan memadamkan. Sekecil apapun api harus segera dipadamkan bersama masyarakat,” ujar Susanto.
Program Desa Makmur Peduli Api merupakan pengembangan dari program Desa Siaga Api yang bertujuan membangkitkan kesadaran masyarakat mencegah api. Program itu, berjalan dengan baik dan sesuai rencana. Bahkan, atas keberhasilan program tersebut yang berjalan pada 2016, PT SMART Tbk mengundang Gubernur Kalimantan Barat Cornelis untuk memberikan reward pada Desa Siaga Api 2016, pada Januari 2017.
Menurut Susanto, jika hanya mencegah kebakaran tetapi masyarakat tidak mendapatkan manfaat, maka program DMPA tidak akan berjalan untuk jangka panjang dan sustainable. Program pencegahan kebakaran harus dibarengi manfaat. Apa yang ada di program Desa Peduli Api berbeda dengan DMPA. Program ini lebih banyak melibatkan masyarakat dalam pencegahan kebakaran.
Selanjutnya, Susanto menjelaskan kondisi masyarakat lokal (Dayak) yang mempunyai habit kurang tepat dalam membuka lahan pertanian. Bahkan sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun.
Saat program DMPA disosialisasikan pada masyarakat, Susanto juga mengakui mengalami kesulitan. Dan mendapatkan pertanyaan dari masyarakat lokal. Jika perusahaan meminta kami (masyarakat local) tidak membakar hutan untuk membuka lahan terus apa solusinya? Lalu, pihak perusahaan menjawab, pihaknya menawarkan program Pertanian Ekologi Terpadu (PEP).
Dalam program PEP, setiap dua desa didampingi satu orang tenaga penyuluh atau tenaga ahli pembimbing pertanian. Tenaga ahli yang disiapkan perusahaan (SMART) bertugas mengajak masyarakat dan memberikan contoh serta membuktikan bahwa membuka lahan bisa dilakukan tanpa harus membakar hutan.
Untuk mengetahui alasan masyarakat lokal yang membuka lahan dengan cara membakar hutan. Pihak perusahaan juga menurunkan tim untuk melakukan riset. “Kami melakukan base land study sehingga tidak sembarang menawarkan tapi juga memberikan study dasar sebenarnya apa yang mendasari masyarakat membuka lahan dengan cara membakar hutan,” kata Susanto Yang.
Dari hasil studi menyebutkan bahwa akses masyarakat untuk menerima pupuk dan teknologi sangat terbatas. Sehingga mereka (masyarakat lokal) mencari lahan dengan cara membakar dengan harapan abu bekas pembakaran akan menaikan PH tanah dengan kesuburan tanah lebih baik. Dan, mendapatkan tanah yang cocok untuk pertanian yang nantinya akan ditanam berbagai bahan pangan terutama padi.
Untuk meminimalisir pencegahan dan menumbuhkan kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan dari pembakaran hutan. “Maka, kami tawarkan, ada teknologi sederhana yang dapat dikerjakan bersama untuk menghasilkan pupuk yang inginkan tidak perlu membakar. Dengan tenaga ahli penyuluh pertanian yang sudah disiapkan mengajak masyarakat untuk membuat kompos dengan bahan yang ada di sekitarnya. Di antaranya kami menawarkan kotoran ternak,” terang Susanto.