Pandemi Covid 19 yang melanda dunia akan berdampak terhadap produksi dan daya saing minyak nabati. Minyak sawit tidak terkecuali. Kedudukan minyak sawit yang sudah mendominasi pasar minyak nabati dunia akan menjadi lebih kuat bila Indonesia dapat mengelola dengan baik kesempatan yang terbuka.
Derom Bangun, Ketua Umum DMSI menyebutkan bahwa dampak ekonomi covid 19 sudah dirasakan oleh semua negara. Analisis International Monetary Fund (IMF) menerangkan penurunan ekonomi lebih dalam dari pada masa depresi. Tentu saja daya beli masyarakat di berbagai negara mengalami penurunan yang dalam juga. Dalam hal ini, negara-negara berkembang dan berpenghasilan rendah seperti Afrika, Amerika Latin, dan Asia merupakan negara yang memilki risiko sangat tinggi.
“Akibat penurunan daya beli itu maka daya saing minyak sawit akan menjadi lebih kuat terhadap minyak nabati yang lain seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak rapa (rapeseed oil) yang sering juga disebut minyak kanola,” jelas Derom.
Dari pengalaman Derom bahwa saat berkunjung ke India bersama pejabat-pejabat Pemerintah dan Kadin pada 1985. Tujuan misi ketika itu adalah mendorong perdagangan dan investasi. Ternyata kala itu, India tidak ada atau belum mengimpor minyak sawit sama sekali dari Indonesia dan dari Malaysia. Beberapa tahun kemudian impor India mulai terlihat dan meningkat dengan cepat. Ketika saya ke India pada awal tahun 1990-an, impor minyak sawit India sudah meningkat dan mulai dikenal.
Ketika saya bertanya kepada seorang anggota masyarakat awam di Mumbai bagaimana dia membandingkan antara minyak sawit dan minyak kedelai, jawabannya sangat mengejutkan saya. “Itu seperti membandingkan mobil Maruti dengan mobil Mercedes”, katanya datar.
Maruti dikenal sebagai mobil yang yang murah harganya dan irit pemakaian bensin yang kelihatan banyak berkeliaran di jalan-jalan Mumbai. Tentu pembelinya sadar bawa mobil ini tidak sekukuh mobil-mobil impor yang lebih mahal. Mobil Mercedes hampir tidak ada saya lihat di jalan-jalan kota Mumbai yang padat mobil itu.
Menurut Derom seperti itulah sebagian anggota masyarakat India melihat minyak sawit yang artinya lebih disukai karena faktor ekonomisnya. Sekarang ketika ekonomi menurun sudah tentu pemerintah India mengambil sikap untuk mengimpor bahan-bahan yang paling sesuai dengan keinginan masyarakat. Hal ini langsung terlihat ketika terdengar pengumuman mengenai perubahan peraturan mengenai impor minyak goreng sawit (palm olein). Pengumuman itu sampai ke Indonesia pada tanggal 15 April 2020 yang sifatnya akan meningkatkan impor minyak goreng sawit itu ke India.
Negara lain juga akan mengalami kondisi ekonomi yang menurun dan akan mengadakan langkah-langkah kebijakan juga yang pada ujungnya akan meningkatkan daya saing minyak sawit. Itu sebabnya, kata Derom, peluang ini harus disambut oleh pihak kita baik pemerintah maupun swasta.
“Eksportir kita sangat mahir mengenai seluk beluk perdagangan ekspor ini baik ke India, ke Tiongkok, ke Pakistan ke Bangladesh dan bahkan ke Rusia,” jelas pria kelahiran Karo, Sumatera Utara, pada 16 Juni 1940,.
Derom menyarankan peluang pasar ini harus didampingi dengan promosi agresif dari pengusaha-pengusaha kita terutama yang memproduksikan minyak goreng bermerek. Promosi si di TV dan media lain di negara-negara konsumen sangat meningkatkan pangsa pasar kita.
“Namun demikian promosi-promosi ke negara tujuan tetap perlu dilakukan walaupun caranya perlu disesuaikan dengan kondisi sekarang. Promosi yang efektif dapat dilakukan melalui mediayang menjangkau para konsumen di rumah masing-masing,” ungkapnya.
Lebih lanjut dijelaskan Derom bahwa inilah saatnya berinvestasi ke arah promosi di pasar-pasar negara tujuan. Covid-19 Sudah melanda juga semua negara-negara pengimpor minyak sawit. Ekonomi negara-negara tersebut juga terdampak dan menurunkan daya beli masyarakat. Karena itu semua permintaan akan komoditas dan juga barang-barang konsumsi mengalami penurunan yang yang sangat signifikan. Akibatnya ekspor ke negara-negara pengimpor dalam bulan Maret dan April tahun 2020 juga sudah mengalami penurunan yang tajam.
“Untuk bulan April permintaan dari India masih akan menurun dibandingkan bulan Maret dan demikian juga di Tiongkok. Kontrak yang ada sudah cukup memenuhi permintaan,” jelasnya.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 102)