Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) dapat diolah menjadi kertas pembungkus makanan bernilai tambah dan ekonomis. Produk ini dinamakan KELASBISTIK singkatan dari Kemasan Kertas Ramah Lingkungan dari Limbah TKKS Berlapis Bioplastik.
Di tangan mahasiswa Universitas Andalas, limbah tandan kosong sawit berubah menjadi produk bernilai tambah. Kelima mahasiswa kreatif ini bernama Tika Apriliany (ketua tim), Fakhrur Rozi Oktafi, Oktaviandi, Nurmala Sari dan Febiola Edsa Gazella, dari Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat.
Kreatifitas mereka bermula dari keprihatinan terhadap kertas pembungkus makanan dari bahan baku plastik. Kertas jenis ini sulit terurai sehingga dapat merusak ekosistem lingkungan. Selain itu, plastik bersifat toksik apabila dipakai sebagai kemasan makanan maka akan ada perpindahan bahan kimia dari plastik ke dalam makanan terutama makanan bertemperatur panas
“Pembungkus makanan umumnya dilapisi dengan plastik yang terbuat dari minyak bumi atau polietilen sehingga sulit terurai bahkan perlu waktu bertahun-tahun. Ini sangatlah berbahaya apabila masuk ke tubuh” kata Fakhrur Rozi dalam jawaban tertulis kepada Sawit Indonesia.
Bersama empat rekannya, Fakhrur membuat pemanfaatan limbah sawit dari tandan kosong sawit menjadi kemasan makanan. Alasannya tandan kosong punya kandungan selulosa cukup tinggi sekitar 40%-50% yang berfungsi untuk menahan air.
“Sehingga berpotensi dimanfaatkan menjadi bahan baku dalam pembuatan kertas. Seperti yang diketahui, dalam pembuatan kertas butuh bahan dengan kandungan selulosa tinggi,” tambahnya.
Dia memaparkan pembuatan kertas ini dimulai dengan pemotongan dan pembersihan tandan kelapa sawit kemudian dijadikan sebagai serat seperti halnya sabut kelapa. Kemudian serat tersebut diuraikan dengan alat defiberasi, lalu dilakukan penurunan kadar air dan pengecilan ukuran.
Selanjutnya, serat dimasak menjadi bubur kertas dengan mencampurnya bersama Natrium Hidroksida (NaOH) dan air, sebagaimana pembuatan kertas pada umumnya. Proses ini dilakukan pada alat bernama pulper. Setelah berbentuk bubur kertas kemudian menjalani proses pencucian, penyaringan dan pengukuran kadar air.
“Lalu bubur kertas dituangkan pada cetakan sehingga membentuk lembaran, kemudian dikeringkan sehingga menjadi lembaran kertas, baru diberi pelapisan dari bahan bioplastik (yang terdiri atas tepung tapioka, glieserol, dan air),” ungkapnya.
Proses berikutnya, permukaan kertas dioleskan bioplastik hingga kering. Kemudian, dilakukan proses pengepresan agar kertas pembungkus makanan yang dihasilkan mulus dan rapi.
Dalam proses pembuatan kemasan berbahan limbah sawit ini, Fakhrur dengan empat rekannya itu mesti teliti dan berhati-hati, terutama pada proses pembuatan dan pemasakan bubur kertas perlu memperhatikan temperatur suhu, tekanan, dan waktu yang tepat. “Jika tidak, maka TKKS nya tidak akan menjadi pulp. Kita juga mesti teliti dan mempunyai teknik khusus untuk pelapiasan bioplastik,” ujarnya.
Produk berbahan sawit ini diyakini memiliki keunggulan dibanding kemasan makanan yang beredar luas di masyarakat. Pertama, bahan-bahan yang digunakan lebih ramah lingkungan karena pembuatan kertas memakai bahan alami. Kedua, bahan pelapis dari bioplastik, mudah terurai karena terbuat dari pati tapioka dan gliserol.”Ketika telah menjadi sampah, tidak memerlukan waktu yang lama untuk mengurainya,” jelasnya.
Keunggulan lainnya kertas pembungkus makanan dari limbah sawit ini adalah sebagian besar bahan yang dipakai mudah diperoleh, murah dan berjumlah banyak, apalagi berasal dari limbah industri yang sudah tidak terpakai. (Ferrika Lukmana)
(Lebih lengkap silakan baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Agustus-15 September 2016)