Petani peserta Iuran Dana Peremajaan Tanaman Perkebunan (IDAPERTABUN) menuntut pembayaran klaim dari AJB Bumiputera 1992. Pasalnya, dana tersebut akan dipakai untuk meremajakan tanaman sawit berusia tua. Kementerian Pertanian lepas tangan atas persoalan ini.
Adalah Suprojo, petani PIR, masih ingat sosialisasi IDAPERTABUN yang dihadiri perwakilan perusahaan, Dinas Perkebunan kabupaten dan provinsi, Dirjenbun dan pihak asuransi Bumiputera pada Maret 1998. Dalam pertemuan tersebut, petani mendapatkan sosialisasi IDAPERTABUN dan diminta ikut asuransi.
“Ada janji bahwa duit kami tidak akan bermasalah. Bumiputera ini perusahaan besar,” ujar Suprojo mengingat janji tadi dalam pertemuan 23 tahun lalu.
Lantaran Suprojo dan rekan-rekannya peserta PIR. Mereka tertarik ikut IDAPERTABUN. Apa lagi ada, perwakilan Ditjen Perkebunan yang hadir. “Karena ini program pemerintah, kami ikut. Awalnya, kami pikir Bumiputera ini BUMN,” ceritanya.
Program IDAPERTABUN adalah kebijakan Kementerian Pertanian RI. Dari data yang diperoleh Majalah Sawit Indonesia, program IDAPERTABUN diawali Perjanjian Kerjasama antara Dirjen Perkebunan kala itu, HM Badrun dengan Direktur Utama AJB Bumiputera 1992, Suratno Hadisuwito pada 1 Februari 1995. Dalam perjanjian ini disebutkan pihak Ditjen Perkebunan menyepakati program IDAPERTABUN ini dilaksanakan di wilayah PIR Perkebunan melalui perikatan asuransi jiwa yang dilakukan pihak AJIB Bumiputera.
Selanjutnya, Menteri Pertanian RI kala itu, Sjarifudin Baharsjah, membuat surat edaran bernomor KB 520/495/Mentan/XII/95 yang meminta program IDAPERTABUN melalui jasa asuransi di bawah pengelolaan AJB Bumiputera. Asuransi ini bersifat kolektif di mana polisnya dipegang Site Manager atau petugas yang ditunjuk atas nama petani peserta. Pesertanya adalah petani sawit program PIR. Sampai tahun tersebut, Departemen Pertanian berhasil membangun kebun baru PIR seluas 532.066 hektare yang terdiri dari 165.965 ha kebun inti dan 366.191 ha kebun plasma milik petani.
Tiga tahun kemudian terbit Keputusan Menteri Pertanian Nomor 60 1998 Mengenai Pembinaan dan Pengendalian Pengembangan Perkebunan Pola PIR. Di dalam pasal 11 disebutkan bahwa Koperasi/petani plasma mempunyai kewajiban untuk Mendorong petani plasma untuk menabung dan atau ikut asuransi guna menyediakan dana untuk peremajaan antara lain melalui IDAPERTABUN.
Suprojo mengakui dana IDAPERTABUN dalam bentuk asuransi jiwa. Nilai premi yang dibayarkan bervariasi mulai dari Rp 7.500-Rp 60.000 per bulan. Petani ada yang mengambil paket IDAPERTABUN sebesar Rp 12 juta. Ada pula yang sebesar Rp 60 juta.
Pembayaran premi dilakukan oleh PT Sinar Mas sebagai avalis petani. Duitnya dari potongan hasil panen tiap bulan. Setelah itu, Sinar Mas yang membayarkannya kepada Bumiputera.
“Awalnya, pembayaran kontrak premi peserta lancar. Tapi makin ke sini mulai macet,” ujarnya.
Suprojo dan rekan-rekannya berharap pemerintah daerah dan pusat termasuk Kementerian Pertanian untuk membantu. Lantaran, program ini diinisiasi oleh pemerintah. Selain itu, Bumiputera dibawa oleh pemerintah melalui kerjasama khusus. “Pemerintah juga harus bertanggungjawab. Kami ikut asuransi Bumiputera. Karena ada embel-embel Idapertabun, program pemerintah,” ucapnya.
Saat dikonfirmasi persoalan IDAPERTABUN. Dr. Kasdi Subagyono, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, mengatakan belum ada rencana kementerian untuk membantu masalah ini. “Belum ada mas, untuk peremajaan sawit menggunakan dana BPDPKS. Saya lihat dulu progres Idapertabun,” jawabnya singkat.
Lantaran tidak ada kejelasan dana IDAPERTABUN. Suprojo sebagai Ketua Koperasi Produsen Tri Manunggal Abadi bersama tiga koperasi lain yaitu KUD Makarti Buana Jaya, Kopsa Makmur Sejahtera, Kopsa Budi Karya, KUD Lestari Jaya. “Kalau dana Idapertabun tidak kunjung dibayarkan. Kami khawatir program peremajaan akan terhambat,” jelasnya.
DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia meminta pemerintah untuk membantu penyelesaian Iuran Dana Peremajaan Tanaman Perkebunan (IDAPERTABUN) di AJB Bumiputera 1992. Pasalnya, ribuan petani sawit menjadi korban gagal bayar Bumiputera yang berdampak kepada rencana peremajaan sawit.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 111)