JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kebijakan pungutan ekspor sawit akan dikaji manfaatnya bagi petani. Studi ini merupakan Kerjasama antara BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Riau.
Dalam Kegiatan mengenai Konsinyering Pembahasan Hasil Kajian Dampak Penerapan Tarif Layanan BLU Bpdpks Terhadap Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan, pada 17-19 November 2021. Kegiatan ini langsung dihadiri oleh Ketua-Ketua Provinsi APKASINDO, SAMADE, dan ASPEK PIR. Hadir pula GAPKI Riau, Disbun Riau dan Formasi (Forum Mahasiswa Sawit) Indonesia.
Ketua Tim Peneliti Prof Dr Almasdi Syahza, MP (LPPM-UNRI), mengatakan bahwa kerjsama riset ini adalah penghormatan kepada Riau sekaligus kepercayaan kepada Perguruan Tinggi di daerah dan sebagai provinsi terluas sawitnya di Indonesia dalam melakukan riset yang bersifat internasional ini. Cakupan penelitian ini mencakup 6 Provinsi sebagai perwakilan dari 22 Provinsi Sawit.
Ke 6 Provinsi tersebut adalah Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Papua Barat, Riau, dan Sumut.
Ketua DPW APKASINDO Sulawesi Selatan, Dr Badaruddin Puang, MM, yang langsung hadir dari Makassar, mengatakan bahwa penelitian ini sangat penting untuk mengungkapkan sejauhmana manfaat Pungutan Eksport terhadap petani, terkhusus petani sawit di Provinsi bagian Timur.
Hal yang sama disampaikan oleh Dorteus Paiki Perwakilan APKASINDO Papua Barat.“Selama ini kami sudah merasakan manfaat berdirinya BPDPKS yang mengelola dana pungutan eksport ini, namun indicator keberhasilannya harus dilakukan penelitian secara menyeluruh,” ujat Paiki dengan logat Papua.
Harapan kami setelah ketahuan mana manfaat yang masih rendah kepada Petani, bisa segera dipacu tahun 2022, seperti misalnya Sarana prasarana yang masih belum “pecah telur”.
Indra Rustandi menegaskan tetap mengawal 6 tujuan berdirinya BPDPKS.”Semua harus berimbang satu-persatu dari ke 6 tujuan tersebut,” ujar Ketua DPW APKASINDO Kalimantan Barat ini sembari mengajak doa dari seluruh masyarakat Indonesia supaya badai banjir di Kalimantan Barat cepat berlalu.
Perwakilan ASPEKPIR, Sutoyo mengatakan bahwa persolan Petani Mandiri dengan Petani Plasma hampir sama saja, terkhusus pasca terbitnya pergub Riau tataniaga TBS maka akan semakin menjelaskan kesetaraan Petani sawit.
“Namun kami sangat prihatian lambatnya PSR di Riau karena banyaknya lahan transmigrasi dan Plasma yang sudah bersertifikat 30 tahun lalu tiba-tiba ketika diajukan ikut Program PSR (Peremajaan Sawit Rakyat) Program Strategis Presiden Jokowi, malah diklaim masuk dalam Kawasan hutan. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi ?” tegas Sutoyo yang juga merupakan Ketua ASPEK PIR Riau.
Kendala serius untuk capaian Program PSR di Riau dan kendala ini terjadi di hampir semua Provinsi sawit (22 Provinsi), sehingga tidak mengherankan jika capaian nasional PSR di tahun 2021 (15,2% dari 185 rb Ha Nasioanal) ini adalah capaian terburuk pada 5 tahun berjalannya program PSR ini.
“Ini sangat serius dan memprihatinkan kita semua, disaat pemerintah sudah menyiapkan dana PSR kok malah dihambat oleh kawasan hutan yang notabene juga pemerintah,” ujar Sutoyo.