Tak hanya harus dilindungi, hutan juga merupakan aset dengan pengelolaan yang baik dan berkelanjutan.
Kebakaran hutan yang belakangan terjadi membuat banyak pihak langsung mengambinghitamkan perusahaan perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebagai biang keladinya. Padahal, kebakaran juga banyak mengakibatkan terganggunya aktivitas perusahaan-perusahaan tersebut. Oleh karenanya dibutuhkan penelusuran lebih lanjut soal penyebab kebakaran.
Christianto Wibisono, Pengamat Ekonomi, mengungkapkan jika memang ada perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran dengan sengaja memang diperlukan hukuman berat. Meski demikian, menurut masalah kebakaran hutan Christianto harus diusut jelas, apakah penyebabnya disengaja atau tidak.
“Yang menjadi masalah adalah mengapa kebakaran ini bisa menjadi sangat besardan sistemik? Apakah semuanya sengaja atau tidak sengaja, itu yang saya rasa harus dituntaskan dan tidak perlu melihat siapanya tetapi perbuatannya. Karena kalau sengaja dan tidak hasilnya akan lain,” ungkap pria pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia ini.
Investigasi menyeluruh soal kebakaran sangat dibutuhkan, sebab menurut Christianto hal ini akan berdampak panjang terhadap kondisi perekonomian Indonesia di kancah global. Dengan dituduhnya Indonesia sebagai negara pembakar hutan banyak produk dari industri sawit dan HTI yang diboikot di beberapa negara.
Jika sentimen ini terus terus dipelihara maka nasib bisnis berbasis sumber daya alam akan tamat. Alih-alih sebagai pembakar hutan menurut Christianto, pemboikotan justru lebih banyak dilatarbelakangi persaingan bisnis.
Christianto melanjutkan bahwa dibutuhkan sebuah upaya diplomasi geopolitik yang mampu memberikan Indonesia posisi tawar yang kuat diantara negara-negara maju. Ia mencontohkan bagaimana sikap mantan Presiden Brasil Lula Da Silva mengenai soal hutan tropis Amazon.
“Lula itu bicaranya tegas, dia bilang meskipun Brazil disuruh menjaga hutan oleh negara-negara lain. Tapi dia bilang kalau Brasil juga memiliki hak untuk menjadikan hutan sebagai aset nasional. Meskipun fungsi hutan sebagai paru-paru dunia juga harus dipertahankan,” ungkap Christianto.
Dalam pandangannya, apabila hutan diposisikan sebagai aset maka tidak mungkin apabila ada yang mau membakar asetnya sendiri.
Di tingkat internasional, menurutnya, strategi tersebut mampu menjadi platform bagi negara-negara pemilik hutan tropis untuk memiliki posisi tawar dengan negara-negara maju lainnya. Platform seperti ini dicontohkan Christianto pernah terjadi pada pembentukan Forest Eleven, yaitu koalisi sebelas negara pemilik hutan tropis seperti Brasil, Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Republik Demokratik Kongo, Republik Kongo, Kamerun, Kolombia, Kostarika, Gabon, dan Peru pada 2007. Dan menyusul tiga Guetemala, Guyana, dan Suriname pada 2011.
Meski demikian koalisi ini sendiri sudah tak berjalan, menurut Christianto salah satu penyebab koalisi seperti ini kerap gagal adalah pendekatan filantropis yang dilakukan oleh negara maju justru menimbulkan ketergantungan bagi negara-negara pemilik hutan.
“Forest Eleven itu memang tadi ambisinya itu kan mau menjadi OPEC di negara maju, tapi akhirnya impoten karena tidak ada dana. Malah menunggu hibah saja dari negara maju. Sulit kalau seperti itu, karena dari hibah itu kan ada syarat harus begini begitu dulu,” kritik Christianto.
Christianto menyarankan agar pemerintah melakukan dua hal. Pertama adalah perbaikan tata kelola hutan indonesia. ia menyebut penyatuan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup sebagai langkah yang tepat guna memadukan aspek ekologi dan ekonomi.
Pemerintah menurutnya harus memetakan secara jelas kawasan-kawasn hutan mana saja yang mampu dijadikan sebagai aset produksi dan mana yang harus dikonservasi. Pemetaan ini juga mampu dijadikan strategi pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
“Meski baru saja kebakaran, kita harus tetap pergi ke KTT Paris dan tetap memperingatkan dunia bahwa Indonesia oke saja memelihara lingkungan. Tapi harus diperjelas posisi soal hutan Indonesia sebagai salah satu aset negara tersebut,” kata Christianto. (Anggar Septiadi)