Pencegahan (preventif) merupakan strategi jitu dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Analisis titik panas (hot spot) dan kegiatan patroli menjadi unsur terpenting dalam pengendalian kebakaran dan proses pembuktian kasus karhutla.
Dr. Rio Christiawan Dosen Hukum Lingkungan Universitas Prasetya Mulya mengungkapkan, peristiwa karhutla bukanlah hal baru di Indonesia karena sudah diketahui terjadi di Indonesia sejak abad ke-19. “Luas lahan karhutla tahun ini mengalami penurunan, meskipun puncaknya terjadi pada tahun 2016,” ujar dia alam kegiatan dialog dan bedah buku virtual bertemakan Strategi Menangani Perkara Kebakaran Hutan dan Lahan.
Kebakaran hutan dan lahan terjadi disebabkan dua faktor utama yaitu faktor alami dan faktor kegiatan manusia. “Faktor alami akibat cuaca El Nino dan faktor manusia karena ada unsur kesengajaan dibakar atau tidak mampu mengendalikan api,” jelas dia.
Karhutla dalam terminologi hukum terbagi menjadi dua yaitu karhutla legal dan karhutla illegal. Dia mencontohkan, karhutla legal contohnya masyaakat diperkenankan membakar lahan seluas 2 hektare dan ini memang diatur di dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Sayangnya izin itu tidak disertai dengan antisipasi dari pemerintah. “Sehingga sering kali masyarakat membakar lahan, apinya lompat ke dalam areal konsesi atau hutan yang dikelola oleh pemerintah,” kata dia.
Namun tidak bisa dipungkiri, lanjutnya, dalam beberapa kasus karhutla masih ditemukan pemegang konsesi membakar lahan. “Akan tetapi, dalam konteks ini sangat kecil kemungkinan pengelola konsesi itu dengan sengaja membakar lahan,” jelas dia.
Poin pentingnya dalam buku ini membahas pencegahan terjadinya karhutla dan antisipasi bila terjadi persoalan hukum. “Penegakan hukum pemerintah terhadap kasus karhutla sering kali terjadi kekeliruan atau penyimpangan penegakan hukum,” ujar Rio.
Menurut dia, pembuktian kebakaran hutan ini tidak mudah, seperti perkara kebakaran lahan gambut. “Titik kebakaran itu tidak gampang terdeteksi karena kebaran terjadi di bawah lahan. Misalnya kebakaran area rawa, muncul api pertama itu sulit dideteksi,” jelas dia.
Rio menyatakan, aspek regulasi yang saling bertentangan turut menjadi sebab kebakaran hutan dan lahan terus berulang. Dalam hal ini, di satu sisi pemerintah secara serius menangani kebakaran hutan dan lahan, namun di sisi sebaliknya pemerintah mengizinkan pembukaan lahan kelapa sawit milik rakyat dengan cara dibakar, hanya dengan pertimbangan ‘local wisdom.’
Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 hingga tingkat peraturan daerah masih memberi dasar hukum bagi pembukaan lahan dengan cara membakar. “Persoalannya bagaimana mengendalikan api apa bila masyarakat diperbolehkan membakar lahan,” tandasnya.
Selain itu, aturan tersebut tidak memberi kewajiban bagi masyarakat yang membuka lahan dengan membakar untuk melengkapi dengan sarana pencegahan karhutla. “Aturan yang mengizinkan masyarakat untuk membuka lahan dengan cara membakar lahan tanpa adanya sarana dan keterampilan pencegahan kebakaran hutan dan lahan turut menjadi sebab terus berulangnya kebakaran lahan,” terang Rio.
Penanganan (karhutla) sebaiknya difokuskan kepada aspek edukasi, sosialisasi, dan dukungan yang bersifat antisipasi serta pencegahan. Analisis hot spot dan Patroli merupakan dua aspek penting bagi tindakan preventif karhutla.
Selain itu, perlu melibatkan dan partisipasi masyarakat sekitar, termasuk pengurus desa. “Kegiatan patroli dan manajemen hot spot ini bertujuan dalam pencegahan kebakaran atau mencegah api menjadi besar,” ujar Rio.
Dia menambahkan, kegiatan patroli dan manajemen hot spot juga harus ditunjang oleh sarana prasarana peralatan pemadam kebakaran (damkar). “Kalau tidak mempunyai alat pemadam kebakaran itu percuma, karena mepunyai satu alat damkar saja itu bisa meringankan kasus karhutla oleh pemegang konsesi atau masyarakat,” terang dia.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 109)