JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Badan Restorasi Gambut (BRG) menepis pandangan bahwa lembaganya menolak keberadaan sawit di areal gambut. “Kami tidak anti sawit, ada yang mengesankan anti padahal itu tidak benar sama sekali,” jelas Deputi Perencanaan dan Kerjasama BRG Budi Wardhana dalam sebuah diskusi pekan lalu.
Munculnya pandangan anti sawit lantaran BRG selalu menyebutkan kelapa sawit bukanlah tanaman yang tepat di lahan gambut. Tanaman yang cocok adalah sagu dan jelutung.
Ia menambahkan, bahwa Peraturan Menteri Pertanian tidak secara tegas melarang tanaman perkebunan berada di areal tersebut, tetapi melarang perluasan lahan perkebunan sawit di daerah gambut. “Kepala BRG Nazir Foead menyatakan tidak boleh lagi ada ekspansi sawit di lahan gambut, itu saya sudah sampaikan,” jelasnya.
BRG mempersilakan petani maupun perusahaan yang menanam sawit di kawasan budidaya gambut. Budi menyebutkan apabila ada pihak petani atau perusahaan sudah terlanjur menanam sawit di lahan gambut tetap diperkenankan asal berada di dalam kawasan budidaya. Tetapi bagi perkebunan yang berada di luar fungsi budidaya diberikan kesempatan sampai konsensi perkebunan itu berakhir.
“Yang sudah menanam gambut di wilayah budidaya teruskan saja asalkan tanahnya lembab. Jika kebetulan menanam bukan di ruang yang seharusnya, bisa jadi jadi kawasan itu hanya diberikan kesempatan di lahan sawit itu sampai konsensinya berakhir kemudian diserahkan di pemerintah atau direvisi izinnya, untuk mengeluarkan kawasan hutan lindung nantinya setelah dikemballikan ke pemerintah restorasi kawasan lindung,” ungkapnya.
Dalam keterangannya, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung menjelaskan pada dasarnya tanaman apapun dapat dikembangkan di lahan gambut dengan teknologi ekohidro farming.
“Saat ini pilihan petani ya sawit yang menguntungkan menurut petani. BRG dan siapapun harus menghormati pilihan petani itu,” katanya.
Pilihan petani ini dilindungi Undang-Undang No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, petani bebas memilih tanaman apapun yang menguntungkan baginya.
Tungkot menyebutkan tidak ada bukti empiris bahwa, sagu dan jelutung menguntungkan petani. Buktinya, tidak ada petani yang mengembangkan kedua tanaman itu.
Senada dengan Tungkot Sipayung. Guru Besar Ilmu Tanah Universitas Sumatera Utara Abdul Rauf juga mengatakan, potensi tanaman sagu dan jelutung secara ekonomi tak akan mampu menandingi kelapa sawit apabila tanaman tersebut sama-sama dibudidayakan di lahan gambut.
“Jelutung maupun sagu memang cocok ditanam di lahan gambut, tetapi potensi ekonominya tetap jauh di bawah sawit. Jadi kebijakan BRG itu perlu dipertanyakan, karena baik jelutung maupun sagu itu secara ekonomi tidak feasible,” ujar dia. (Ferrika)