Jakarta, SAWIT INDONESIA – Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) membeberkan sejumlah masalah yang yang berpotensi menghambat programnya untuk dapat berjalan cepat.
Direktur Perencanaan dan Pengelolaan Dana BPDPKS Kabul Wijayanto misalnya menyoroti kementerian yang mengurusi sawit tidak semuanya masuk di dalam komite pengarah BPDPKS. Seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Dia menilai, percepatan replanting pun untuk meningkatkan produktivitas sawit jadi tersendat. Untuk diketahui, saat ini terdapat komite pengarah BPDPKS yakni Kemenperin, Kemendag, Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian BUMN, Kemenkeu, Kementerian ESDM dan Kementan.
“Jadi wajar dalam proses pelaksanaan soal lahan jadi masalah,” ucap Kabul dalam diskusi ‘Menakar Keseimbangan Produksi CPO untuk Kebutuhan Domestik & Ekspor: Urgensi dan Tantangan’ di Jakarta, Rabu (20/6/2024).
Adapun enam tantangan dihadapi BPDPKS; pertama, Data yang akurat dapat meningkatkan dalam penyaluran dana yang tepat guna dan tepat sasaranMasalah lainnya, lanjut Kabul, tidak adanya data Tunggal yang bisa menjadi patokan bagi seluruh stakeholder.
Kedua, kolaborasi antar pemangku kepentingan terkait Sinergi dan Koordinasi antar pemangku kepentingan terkait semakin intensif termasuk pada program PSR. Ketiga, Sosialisasi terkait Kurangnya pengetahuan stakeholder sawit terkait dengan program BPDPKS baik untuk penggunannya dan pemanfaatan bagi industry sawit.
Keempat, faktor Harga TBS saat ini cenderung tinggi sehingga terdapat keengganan petani untuk ikut program PSR, dimana lahan sawit yang dimiliki merupakan satu-satunya sumber pendapatan
Kelima, Kemitraan dan Promosi Masing-masing stakeholder berbeda-beda dalam melakukan promosi terhadap black campaign sawit, karena belum terdapat hanbook promosi sawit. Keenam, Adanya pemeriksaan APH di berbagai wilayah terkait dana PSR, terkait dugaan penyimpangan, membuat petani khawatir jika ikut program PSR berpotensi untuk diperiksa oleh APH.
“Kementerian Pertanian punya data, GAPKI punya data, tapi bisa jadi data itu bisa berbeda. Itu PR-nya. Dan sekarang faktanya untuk meningkatkan produksi, Dirjenbun itu baru minta sekarang ke BPDPKS untuk menginisiasi untuk memetakan lahan. Itu pun baru 2 provinsi di antara provinsi sentra sawit,” terangnya.
Dia menjelaskan, di dalam data satu lembaga pun bisa berubah tanpa penjelasan. Misalnya dalam Status Perkebunan di Kepmentan tahun 2019 sudah keluar 16,38 juta hektar. Tapi di tahun 2022 berubah menjadi 16,83 juta ha dan ditambahkan ada luasan yang harus dikonfirmasi.
“Jadi itu PR, kita gak punya. Saya tanya ke daerah daerah sama saja. kalau bicara clean and clear nya gak punya,” ucap Kabul.
Padahal, menurutnya, fakta di lapangan produktivitas petani terus mengalami penurunan tajam. Pada 2019 sebesar produktivitasnya sebesar 3,2 ton per ha per tahun, tapi pada 2023 anjlok jadi 2,87 ton per ha per tahun secara nasional. Bahkan menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan untuk petani rakyat 2,58 ton per ha per tahun produktivitasnya.
“Padahal kita sudah sama sama melaksanakan beberapa perbaikan, tapi sampai 2023 justru turun,” ucap Kabul.
Lebih lanjut, Kabul mengatakan pihaknya memproyeksikan pada 2045 produksi sawit nasional bisa mencapai 86,51 juta ton, asalkan bisa mereplanting sebesar 120 ribu ha per tahun dimulai di 2025.
“Jika hal tidak tercapai, produksinya justru turun menjadi 44 juta ton, turun dari yang sekarang [50,7 juta ton],” terangnya.