JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit diharapkan dapat menjadi badan yang bersifat otonom dan langsung di bawah presiden. Pasalnya, badan ini mengelola berbagai program strategis nasional yang berkaitan langsung dengan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Usulan ini disampaikan Dr. Gulat ME Manurung, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO). Ia menuturkan banyak sekali campur tangan dari lintas kementerian terhadap program sawit yang dikelola BPDPKS.
“Seharusnya BPDPKS menjadi Badan Otonom sehingga akselarasinya lebih cepat dan tidak bertele-tele. Kalau seperti saat ini BPDPKS tak lebih dari sekedar juru bayar”, ujar Gulat.
Usulan ini disampaikan Gulat Manurung setelah mendengar jawaban Eddy Abdurrachman, Dirut BPDPKS, untuk menanggapi pertanyaan diajukannya.
Sebelumnya, Gulat menanyakan strategi BPDPKS untuk meningkatkan capaian PSR di 2022. Lantaran rendahnya PSR 2021 selama 2 tahun terakhir.
Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman menjelaskan bahwa “Program PSR tidak semata-mata menjadi tanggungjawab BPDPKS, tetapi ada banyak stakeholder terkait yang bisa ikut mensukseskan program PSR pada 2022.
“BPDPKS akan mengajak asosiasi petani kelapa sawit bersama lembaga dan kementrian untuk menyusun program guna mempercepat PSR, mulai dari sosialisasinya, bimbingan tekniknya, mengajak kemitraan dengan para pengusaha-pengusaha sawit swasta dan negara agar dapat mengejar target dari PSR itu tadi.
Dr. Syamsuddin Koloi, Pengurus APKASINDO Sulawesi Tengah, berpendapat bahwa BPDPKS harus diberi kewenangan lebih luas jangan hanya tukang simpan uang dan tukang transfer.
Gulat mengatakan seharusnya BPDPKS bebas dari ribetnya birokrasi yang menjadi hambatan selama ini. Sebab dana yang dikumpulkan BPDPKS bukan berasal dari APBN.
Sebagai contoh mendapatkan rekomtek usulan PSR saja, petani harus berjuang mulai dari Kabupaten ke BPKH, BPN, lalu ke provinsi dan berikutnya Ditjenbun, lalu verifikasi kembali ke bawah. Itupun kalau lolos, kalau di tolak, maka habislah waktu 1-2 tahun menanti yang gagal usul.
“Sudah ada korban ribetnya birokrasi ini, yaitu biaya sertifikasi ISPO dua Koperasi PSR. Lembaga Surveyor (LS) PT Mutu Agung Internasional sudah mengerjakan sertifikasi kedua koperasi tersebut karena rekomteknya sudah terbit atas permintaan APKASINDO,” paparnya.
Menurut Gulat, koperasi tersebut mitra binaan DPD APKASINDO Kabupaten Rokan Hilir yang memegang sertifikat ISPO. Padahal, koperasi tersebut ditanam prdana oleh Presiden Jokowi 2018 dan satu lagi ditanam Perdana oleh Kepala KSP 2019, Jend TNI (Purn) Dr Moeldoko.
“Bahkan sudah dipanen perdana oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin November 2021 lalu. Tapi biaya sertifikasi kedua koperasi tersebut tidak dibayar oleh BPDPKS, dengan alasan tidak adanya koordinasi antara Ditjenbun dengan BPDPKS. Lho kok bisa?” tanya Gulat.
Setahun lalu, penyerahan sertifikat ISPO Koperasi tersebut langsung diserahkan oleh Dirjen Perkebunan Dr. Kasdi dan Direktur BPDPKS Dr. Sunari pada HUT 20 Tahun APKASINDO disaksikan Ketua Dewan Pembina DPP APKASINDO, Dr. Moeldoko, Menko Marves Luhut Panjaitan dan Menteri Pertanian.
Faktanya, kata Gulat, petani yang menjadi korban, dan ditagih terus oleh kedua lembaga sertifikasi tersebut. Pada Januari 2022, sertifikat ISPO tersebut akan ditarik, karena belum dibayar dan sudah ditagih sejak November 2020 lalu.