JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) melalui program kemitraan (Pengembangan SDM, Sarana dan Prasarana, Peremajaan Sawit Rakyat, Penelitian dan Pengembangan/riset) terus mendorong petani/pekebun sawit swadaya agar dapat mencapai kesejahteraan.
Hal ini bukan tanpa sebab, melainkan adanya persoalan/tantangan yang dihadapi petani sawit swadaya antara lain produktivitas rendah, bertumpu pada hasil penjualan minyak (biomassa yang lain belum dimanfaatkan), kekuatan tawar pada rantai jual beli rendah, dan akses pasar serta pembiayan komersil terbatas.
Edi Wibowo, Direktur Penyaluran Dana, BPDPKS, mengatakan tujuan penyelenggaraan program kemitraan berbasis karakteristik usaha, di antaranya memberikan jaminan pasar bagi Tandan Buah Segar (TBS) pekebun swadaya, memberikan akses petani swadaya untuk memperoleh bibit dan pupuk berkualitas.
“Memberikan bimbingan teknis peningkatan produksi TBS, bimbingan peningkatan mutu TBS pekebun swadaya sesuai standar industri kelapa sawit, bimbingan teknis pola usaha tani/berkebun yang baik (Good Agriculture Practices) dan berkelanjutan serta peningkatan nilai tambah produk sawit untuk peningkatan kesejahteraan pekebun,” ujarnya, saat Webinar bertemakan “Peran BPDPKS dalam memperkuat Pekebun Kelapa Sawit Indonesia”, pada Kamis (29 Juli 2021).
Selain itu, BPDPKS juga masih banyak program kemitraan lain antara lain program kemitraan pemberdayaan pekebun dalam pencegahan Covid-19 dengan memproduksi sabun cair dan Hand Sanitizer. Dan, membuat bahan bakar biomassa sawit untuk ketahanan energi serta pengelolaan lahan sawit (tanaman tumpang sari) untuk ketahanan pangan di daerah.
Program kemitraan lainnya yaitu progra kemitraan untuk Pemberdayaan Pekebun terkait integrasi dengan industri Hidrokarbon, serta Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dalam kemitraan strategis. “Program kemitraan strategis dengan dukungan perusahaan sebagai mitra, meliputi bibit unggul bersertifikat, teknis budidaya berkelanjutan, jaminan pembelian (off taker), akses pendanaan mudah dan kompetitif, dan kesempatan pekebun bekerja di koperasi dan transparansi,” tambah Edi.
Terkait dengan program kemitraan yang ada di industri hulu sawit, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Mukti Sardjono mengatakan sejatinya kemitraan pertama muncul sejak adanya bantuan Bank Dunia pada 1970-an. Kemudian, dikembangkan P3RSU (UPP) dan selanjutnya dibentuk program Nucleus Estate Smallholder (NES) dan dilanjutkan dengan pengembangan proyek seri Perkebunan Inti Rakyat (PIR) kelapa sawit.
“Pola kemitraan hingga saat ini yaitu program PIR dengan perusahaan inti PTP (NES, PIR Khusus dan PIR Lokal), Pola PIR-Trans dengan perusahaan swasta dan BUMN sebagai inti, pola PIR KKPA, Revitalisasi Perkebunan, Peremajaan Sawit Rakyat,” kata Mukti.
Lebih lanjut, ia mengatakan PIR sukses mengubah komposisi luas lahan sawit yang dimiliki oleh rakyat dari luasan 6.175 ha pada 1980 menjadi 5.958.502 ha pada 2019 di Indonesia. “Merujuk data statistik luasan lahan kelapa sawit Indonesia,” imbuh Mukti.
Menanggapi kemitraan untuk petani sawit, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto menyampaikan secara nyata kemitraan memang sangat dibutuhkan pekebun sawit. “Terlebih khusus untuk petani swadaya yakni petani yang mengelola sendiri kebunnya, mayoritas petani swadaya juga belum bermitra dengan perusahaan. Sementara, pekebun plasma umumnya sudah mempunyai orang tua asuh yakni perusahaan inti,” ucapnya.
Kemitraan bisa menjadi solusi dari berbagai tantangan yang dihadapi pekebun swadaya antaran lain produktivitas tanaman rendah, harga TBS rendah, kurang minat berorganisasi, kurangnya kelembagaan petani, dan legalitas lahan petani.
“Sebab itu, perlunya ada kebijakan yang menjadi payung di lapangan dalam kemitraan. Perlu langkah revolusioner pemerintah untuk mengatasi masalah kemitraan. Pendataan dan pendampingan harus dilakukan,” kata Darto.