Industri sawit membawa pulau Kalimantan lebih sejahtera dan berkelanjutan dalam pembangunan ekonomi setelah tenggelamnya bisnis perkayuan. Untuk itu, dukungan regulasi pemerintah dan perlindungan hukum sangatlah dibutuhkan pelaku bisnis sawit. Hal ini terangkum dalam Seminar Borneo Forum II 2018 bertemakanIndustri Kelapa Sawit: Penopang Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan Bagi Kalimantan.yang berlangsung pada 26-27 April 2018 di Hotel Novotel Balikpapan, Kalimantan Timur.
Dalam kata sambutan Awang Faroek Ishak, Gubernur Kalimantan Timur, disebutkan bahwa industri sawit telah mengembangkan ekonomi kerakyatan yang berperan mengentaskan kemiskinan, pengembangan energi baru terbarukan, memperbaiki kualitas lingkungan, dan menurunkan emisi gas rumah kaca.
“Borneo Forum II dapat menjadi ajang bertukar pikiran, informasi, dan mencari solusi atas permasalahan dari sudut pandang pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam meningkatkan peranan perkebunan pembangunan Kalimantan khususnya Kalimantan Timur,” kata Awang Faroek yang pidatonya dibacakan Ujang Rahmayadi, Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Timur.
Saat ini, sektor perkebunan sawit dan CPO di Kalimantan Timur kian berkembang dalam RTRWP 2016-2036 bahwa areal yang diperuntukkan untuk perkebunan seluas 3,29 juta hektare sampai 2017. Dari jumlah tersebut, luas perkebunan di Kalimantan Timur 1,35 juta hektare di mana 88,19 persen atau 1,19 juta hektare merupakan perkebunan sawit. Dari jumlah tersebut, sekitar 20,39% atau 242.640 hektare dikelola masyarakat.
Dari aspek kontribusi ekonomi, sektor industri sawit termasukpengolahan CPO menyumbang 6,02% terhadap PDRB. Sampai 2017, ekspor CPO mencapai US$584,81 juta atau berkontribusi sebesar 3,35 persen dari total nilai ekspor US$17,48 miliar. “Industri sawit menempati urutan ketiga setelah nilai ekspor batubara dan migas. Ke depan nilai ekspor sawit akan terus meningkat sejalan pertumbuhan luas dan produksi sawit di masa datang,” kata Ujang.
Dalam kata sambutannya, Kanya Lakshmi Sidarta, Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebutkan dengan kebutuhan minyak nabati pada 2025, artinya dibutuhkan tambahan suplai sebesar 51 juta ton dari produksi minyak nabati dunia saat ini. “Atau kira-kira diperlukan tambahan 5 juta ton minyak nabati setiap tahunnya,”ujarnya.
Apabila dihitung antara produktivitas dan kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan tadi, maka sawit dapat menjadi pilihan utama. Joko menjelaskan apabila bergantung pada minyak sawit saja, dibutuhkan 12,9 juta hektar lahan baru untuk memproduksi 51 juta ton minyak nabati dengan produksi rata-rata 3,96 ton per hektare.
Sementara itu, andaikata bergantung minyak kedelai maka dibutuhkan 97,8 juta hektare lahan baru dengan produksi rata-rata 0,52 ton per hektar secara global. Untuk minyak rapeseed saja maka diperlukan 51,6 juta hektar lahan baru untuk produksi rata-rata 0,99 ton per hektar.“Jika hanya bergantung pada minyak bunga matahari, maka dibutuhkan 72 juta hektar lahan baru dengan produksi rata-rata 0,71 juta ton”, tambahnya.
Dengan fakta bahwa penduduk yang bertambah dan harus diberikan makan, maka pengembangan industri minyak nabati tetap harus dilaksanakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dunia. “Situasi ini bergantung kepada Pemerintah Indonesia, apakah akan mengambil kesempatan untuk memanfaatkan potensi lahan yang ada atau akan melepaskan kesempatan pengembangan sawit kepada negara-negara lain seperti Afrika,” jelasnya.