Tidak tepat menuduh kelapa sawit sebagai penyebab utama deforestasi. Persoalan tata kelola hutan dan tata ruang masih belum terselesaikan.
Konversi fosil fuel menjadi energi terbarukan (biofuel) merupakan upaya dari pemerintah dalam menjawab isu perubahan iklim. Di awal-awal isu perubahan iklim ada istilah low hanging fruit, forest deforestasi and forest degradation. istilah-istilah ini menjadi andalan bersamaan dengan isu perubahan iklim.
Namun, setelah perjanjian Paris (REDD-reducing emission from deforestation and forest degradatation), diganti dengan “common but differentiated responsibility and respective capabilities”. Artinya perubahan iklim adalah tanggung jawab bersama, baik, negara Annex 1 dan non Annex, tetapi tanggung jawabnya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing negara. Hal tersebut diungkapkan, Petrus Gunarso, Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (PERSAKI), dalam dialog online bertema ‘Masa Depan Biodiesel Indonesia : Bincang Pakar Multiperspektif’, pada Rabu (16 Desember 2020).
Menurut Petrus, dari situ negara-negara yang sebelumnya tidak menurunkan emisi menyatakan akan turut menurunkan. Masing-masing negara menurunkan tax commitment.
“Indonesia memilih tanggung jawabnya lebih besar atau mungkin setara negara-negara Annex I dan sebagian besar menggantungkan pada potensi hutan Indonesia. Walaupun diperjanjian pertama kita tidak perlu. Tetapi ini kenyataan yang harus dihadapi, selanjutnya kita menggunakan energi terbarukan di negeri kita,” ujarnya.
Terkait dengan potensi hutan dalam perubahan iklim, Petrus mengatakan ada pendapat dari Rimbawan negara Annex I yang menyatakan hutan memiliki 3 fungsi yang positif yaitu Sequestration hutan menyerap CO2 menjadi kayu, Storage kayu menyimpan karbon sepanjang dipakai, dan, Substitution menggantikan semen, baja ringan, besi dalam konstruksi.
“Sementara, pendapat Rimbawan di negara Non Annex (di Indonesia dan Brasil) hutan sebagai source (kebakaran hutan, land use change, corruption) dan Show off (kebijakan moratotium dan dilanjutkan dengan termination of permits, lupa tujuannya to improve governance/perbaikan tata kelola hutan),” imbuh Petrus.
Untuk itu, Petrus menekankan perlu ada kolaborasi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang saat ini masih ada. “Isu deforestasi di Indonesia tidak tepat jika ditumpukan pada pembangunan sawit yang relative cepat (dalam 30 tahun terakhir). Kegagalan Sustainable Forest Management (SFM) harus diakui dan diperbaiki. Proses penunjukan hutan yang tidak segera diikuti dengan penetapannya serta pembiaran masalah yang berkepanjangan,” tegasnya.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 111)