PALANGKARAYA, SAWIT INDONESIA – Desakan revisi semakin menguat terhadap Peraturan Pemerintah nomor 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Aturan kontroversial mengenai kriteria gambut rusak yang ditetapkan hanya berdasarkan muka air gambut yang paling rendah 0,4 meter. Selain itu, penetapan 30% dari Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) sebagai fungsi lindung akan mematikan ekonomi rakyat dan investasi.
Pasal lain yang perlu direvisi yakni aturan mengenai pemberlakukan moratorium pembukaan baru atau land clearing pada lahan gambut, menyetop izin yang diberikan untuk pemanfaatan lahan gambut, serta mengatur pengambilalihan lahan yang terbakar oleh pemerintah.
Demikian pendapat yang mengemuka dalam Forum Group Discussion (FGD) yang merupakan kerjasama Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya dengan Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI), di Palangkaraya, Senin (20/2/2017).
Ketua Bidang Pengolahan Hasil Perkebunan DPN HImpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Didik Hariyanto, menilai, revisi perlu segera dilakukan karena aturan itu akan menyulitkan masyarakat yang sudah turun-temurun memanfaatkan lahan gambut untuk kehidupan.
Ketentuan mengenai tinggi muka air 0.4 meter misalnya tidak hanya mengkriminalisasi pengelolaan kebun sawit namun juga bagaikan “guillotine” yang siap memenggal mati kehidupaan masyarakat yang hidupnya tergantung dari perkebunan sawit .
Untuk itu, Didik memohon agar Presiden Jokowi segera merevisi PP ini khususnya pasal-pasal kontroversial tersebut. “Saya kira Bapak Presiden perlu diberi masukan bahwa ada 344 ribu kepala keluarga (kk) yang hidupnya bergantung pada kebun sawit di lahan gambut.”
Ketua Umum MAKSI, Darmono Taniwiryono mengharapkan, kebijakan pemerintah harus dapat memenuhi tuntuntan kepentingan kehidupan masyarakat Indonesia termasuk lingkungan, ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan hukum sesuai yang diamanahkan oleh UUD 45 dan
Kebijakan pemerintah seharusnya melindungi investasi di industri sawit dalam upaya memperkuat ekonomi domestik untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional. Apalagi pada 2017 menurut menteri keuangan ekonomi indonesia mengandalkan peningkatan konsumsi domestik sebagai antisipasi kebijakan proteksionis Presiden Amerika Serikat (AS), Donald J. Trump.
Selain merevisi, Presiden Jokowi perlu mendengar masukan dari para pemangku kepentingan yang terlibat langsung. Mereka berulang kali menyampaikan teriakan dan jeritan permintaan perlindungan lewat berbagai forum agar tidak mematikan industri sawit.
Suara para pemangku kepentingan harus didengar. Presiden perlu berimbang dan tidak sepihak hanya mendengar masukan para ‘pembisik’ yang belum tentu memahami persoalan ini dengan baik serta sarat dengan berbagai kepentingan.
Peneliti Utama Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Prof Dr Chairil Anwar Siregar berpendapat ganggungan terhadap kawasan hutan merupakan keniscayaan seiring ledakan penduduk Indonesia yang mencapai 1,7% per tahun.
Jika diasumsikan dari 200 juta jiwa penduduk Indonesia pertumbuhannya hanya 1 persen saja per tahun, maka ada tambahan 2 juta jiwa baru di Indonesia. Jika disetarakan, angka sama dengan kapasitas 20 stadion Utama Senayan. Mereka juga perlu lahan untuk pemenuhan pangan dan permukiman.
Karena itu, kata Chairil, semua pihak termasuk pemerintah tidak boleh tutup mata terhadap persoalan ini.Apalagi, Indonesia diandalkan menjadi salah satu lumbung pangan dunia. “Jika tidak diantisipasi, neraca pangan dunia diperkirakan mengalami defisit 70 juta ton pada tahun 2025, dengan perkiraan bumi dihuni sekitar 8 miliar jiwa.
Menurut Chairil, pemenuhan kebutuhan pangan harus menjadi prioritas pemerintah. Tidak tepat terlalu menonjolkan ‘hasrat’ konservasi secara berlebihan karena produksi sama pentingnya dengan konservasi.”
“Indonesia memerlukan pembangunan ekonomi yang kuat untuk menuntaskan masalah kemiskinan. Untuk itu, pemanfaatan hutan harus tetap mengedepankan kepentingan masyarakat dan ekonomi.
Chairil mengharapkan, semangatnya PP No. 57 2016 harus diarahkan untuk mendukung sektor perkebunan dan kehutanan di lahan gambut. Aturan-aturannya harus bisa diaplikasikan masyarakat dan dunia usaha.