JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Tiga asosiasi petani sawit menegaskan komitmennya untuk melawan segala bentuk kampanye negatif tentang sawit. Yang disampaikan saat bertemu perwakilan delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam di Jakarta, Kamis (7 November 2019). Selain itu, Uni Eropa diminta berpartisipasi melawan kampanye negatif sawit di negara-negara Eropa, dimana kampanye tersebut berdampak buruk bagi keberlanjutan hidup petani.
Pertemuan ini dihadiri Ir. Gulat ME Manurung, MP (Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia/APKASINDO), Setiyono (Ketua Umum ASPEK-PIR), Tolen Ketaren (Ketua Umum SAMADE), dan Djono Albar Burhan S.Kom, MMgt (Int. Bus), CC, CL (Bidang Hubungan Internasional APKASINDO). Dari perwakilan Delegasi Uni Eropa antara lain Paula Abreu (Head of Unit, Renewables Policy), Heino Marius (Deputy Head Of Division Southeast Asia), Laure Brachet (Desk Officer Southeast Asia Division) serta Michael Bucki (Climate Change & Environment Counsellor). Topik pertemuan mengenai “Discuss Sustainable Palm Oil and Bioenergy With UE and Smallholders”.
Dalam pertemuan tersebut, perwakilan Delegasi Uni Eropa menyampaikan perkembangan implementasi kebijakan dan perundang-undangan di Eropa yang terkait perubahan iklim dan energi terbarukan. Target yang dicanangkan Eropa penggunaan energi bersumber dari energi terbarukan mencapai 32% dari keseluruhan energi pada 2030. Untuk mencapai target ini, digunakan biodiesel untuk transportasi mencakup 14% dari pemakaian energi terbarukan tadi.
Delegasi Uni Eropa menyampaikan hasil assement terkait kelapa sawit yang diterbitkan pada Maret 2019 disebutkan perluasan lahan sawit banyak terjadi di hutan dan gambut. Disampaikan pula bahwa minyak sawit diketahui sebagai minyak nabati dengan ILUC tinggi. Itu sebabnya, ada beberapa cara menurunkannya dengan peningkatan produktifitas lahan per hektar.
Gulat Manurung menjelaskan pada delegasi UE bahwa perkebunan sawit petani swadaya di Indonesia tidak ditanam di areal hutan Primer sebagaimana anggapan UE selama ini. Menyikapi kebijakan Eropa terhadap sawit, ia meminta tidak ada regulasi yang menghambat dan diskriminatif kelapa sawit masuk ke Eropa.
“Kami petani sawit Indonesia meminta UE tidak membuat peraturan yang aneh, diskriminatif dan memberatkan. Kelapa sawit itu bukan penyebab utama deforestasi, malahan menyelamatkan hutan yang rusak,” ujar Gulat yang merupakan Kandidat Doktor Lingkungan.
Setiyono Ketua Umum ASPEK-PIR, menuturkan negara-negara di Uni Eropa terlihat sengaja menyebarkan informasi negatif lantaran minyak nabati mereka sulit bersaing dengan sawit. Tujuan lain, tekanan kelapa sawit ini untuk memperoleh harga murah. Dijelaskannya, sawit sebaliknya telah membantu reforestasi bagi lahan terdegradasi dan terlantar seperti eks HPH. Setelah sawit ditanam, biodiversitas kembali muncul dan membantu penghematan emisi karbon.
“Ini sekaligus menjadi peringatan kepada bangsa Indonesia supaya bisa kompak melawan kampanye negatif ini, sebab sawit itu untuk Indonesia bukan sebatas petani saja,” ucapnya.
Dalam kesempatan tersebut, tim perwakilan Delegasi Eropa menanyakan perkembangan ISPO yang berjalan di petani kepada tiga asosiasi. Lalu, bagaimana manfaat yang diperoleh pekebun swadaya dengan ISPO ini? Setiyono menjawab terdapat manfaat yang diperoleh dalam bentuk pembinaan dan bisa meningkatkan harga TBS sampai 4%.
Selanjutnya, Delegasi Eropa menjelaskan bahwa Eropa punya RSPO dan Indonesia punya ISPO. Akan tetapi, RSPO dinilai sebagai standar sawit lebih baik ketimbang ISPO.
Begitu mendengar pernyataan tadi, Setiono langsung menimpali bahwa Permentan ISPO telah berdampak kepada harga. “Bagaimana dengan RSPO, apa benefit yang akan didapatkan oleh petani sawit?” tanya Setiono.

Paula Abreu, salah satu perwakilan European Union langsung berkilah bahwa benefit tergantung dari domestik (pemerintah) Indonesia. Bukan otoritas Eropa bisa memastikan premium price kepada petani.
Banyak hal yang sudah dilakukan oleh Presiden Jokowi Dalam rangka peningkatan produktivitas kelapa sawit, seperti Indonesia telah menerapkan konsep intensifikasi melalui optimalisasi lahan eksisting supaya lebih produktif dengan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR)”, urai Gulat di depan Delegasi UE.
Menjawab Pertanyaan Komisi UE tentang kesiapan Petani untuk segera ber-ISPO, Gulat menjelaskan bahwa pada ujungnya petani memang harus merupakan bagian dari konsep ISPO, saat ini baru 0,5% Petani yang mendapatkan sertifikat ISPO, dan Petani sedang berusaha keras untuk masuk dalam kriteria ISPO, butuh waktu dan kerja keras baik oleh Petani dan juga oleh Pemerintah untuk menyelesaian dan membantu Petani lepas dari belenggu penghalang.
“Memaksakan ISPO wajib bagi petani tanpa melakukan persiapan menuju kesana akan menjadi malapetaka karena Wajib ISPO bagi Petani memiliki konsekuensi ditolaknya TBS Petani oleh PKS bagi Petani yang belum ber ISPO. Butuh waktu menyelesaikan persoalan Petani terkhusus kepada legalitas kepemilikan lahan,” ujar Gulat yang juga Auditor ISPO.
Pihak Delegasi Komisi UE juga menanyakan mengenai ILUC, Gulat menjelaskan, faktanya yang harus diingat adalah bahwa perkebunan sawit swadaya di Indonesia itu ditanam di tanah yang sudah tidak ada lagi tegakan tanaman kehutanan, jadi bukan dihutan Primer seperti anggapan UE selama ini. Indonesia saat ini melakukan Intensifikasi yang artinya memaksimumkan lahan yang sudah ada supaya lebih produktif dengan Program Replanting (Peremajaan Sawit Rakyat). Konsep PSR ini akan menjadikan produktifitas kebun petani menjadi 3-4 kali lipat dari produksi sebelumnya. Program PSR ini sudah berjalan selama 4 tahun yang lalu, Apkasindo sangat berperan dalam mensukseskan Program PSR ini.
Tiga Organiasi Petani Sawit terbesar di Indonesia ini juga sepakat meminta kepada Presiden Jokowi supaya mencoret Pasal di R-Perpres ISPO yang mewajibkan Petani untuk memiliki Sertifikasi ISPO. Persoalan Petani yang dihadapi saat ini mengambat Petani secara persyaratan untuk meraih sertifikat ISPO, sangat banyak hambatannya sehingga perlu dicarikan solusinya dahulu baru diwajibkan memiliki sertifikat ISPO.
Terlepas dari masih adanya kekurangan dalam pembangunan dan industri kelapa sawit ini menuju berkelanjutan, tetapi kami Petani sudah melihat keseriusan dari Pemerintah Indonesia, yang tampak dari Keseriusan Bapak Jokowi mensukseskan Program PSR yang mengadopsi konsep Intensifikasi bukan ekstensifikasi dan diluncurkannya beberapa regulasi sebagai cara penyelesaian persoalan lingkungan dan dimoratoriumkannya izin baru untu HGU sawit melalui Inpres No 8 Tahun 2018.
Tiga organisasi petani Sawit terbesar di Indonesia ini juga meminta kepada Presiden supaya jangan mau terbawa oleh arus permainan dari UE dalam politik perdagangan dan Kementerian terkait harus tegas kepada NGO-NGO yang selalu mengkampanyekan sawit tidak bersahabat kepada lingkungan. Indonesia negara besar dan berdaulat, tidak bisa disetir hanya karena mereka mengimpor CPO Indonesia.
“Kami sebagai organisasi petani sawit berharap kepada Pemerintah melalui kementerian terkait supaya lebih kencang dalam mewujudkan Biodisel B50 bahkan sampai ke B100,” pungkas Gulat.
Menutup pertemuan dengan media di lantai 1 Gedung Menara Astra, Gulat menyampaikan bahwa teknologi sudah tersedia menuju B100. Jangan hiraukan UE tersebut karena mereka memainkan peranan sebagai politik perdagangan. “Coba kalau sawit bisa tumbuh di Eropa, pasti mereka berbalik arah menyalahkan minyak nabati yang berasal dari bunga matahari, kedelai, dan rapeseed lainnya sebagai penyebab deforestasi,” ucap Gulat.