Lambatnya pengukuhan kawasan hutan akan berdampak pula kepada pembangunan nasional. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI menyoroti ketidak pastian hukum dari persoalan kawasan hutan.
Untuk menyelesaikan konfik di sektor agraria pemerintah terus berupaya melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak Kementerian/Lembaga terkait. Data aduan/kasus yang melalui Kantor Staf Kepresidenan (KSP), ada sebanyak 1191 kasus yang terdiri dari berbagai kasus di antaranya 251 kasus kehutanan, 32 kasus aset TNI/Polri, 349 kasus perkebunan swasta, 357 kasus aset BUMN (229 kasus PTPN, 128 kasus Perhutani), 54 kasus infrastruktur, 21 kasus transmigrasi dan TORA, 127 kasus lainnya. Aduan di KSP ditampung melalui program KSP Mendengar.
Kepala KSP RI, Jend TNI (Purn) Moeldoko menyampaikan komitmen pemerintah dalam upaya penyelesaian kasus agraria salah satunya melalui Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK). Stranas PK tercantum dalam Perpres 54 tahun 2018 adalah Komitmen bersama pemerintah dengan KPK untuk memperkuat kolaborasi pencegahan korupsi secara sistemik. Beberapa aksi yang dilakukan yaitu Pengukuhan Kawasan Hutan (PKH), Satu Peta, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang menjadi fokus di sektor perizinan dan tata niaga.
“Aksi ini penting karena menjadi enabling factors dari berbagai prioritas pembangunan. Setidaknya ada 2 program utama yang menjadi prioritas yakni percepatan konflik agraria untuk kepentingan masyarakat dan Online Single Submission (OSS) untuk perizinan dan investasi,” kata Mantan Panglima TNIinisaat menjadi Keynote Spekerdalam Webinar Stranas PK, pada Rabu (28 Juli 2021).
Sebagai informasi, pada November dan Desember 2020, Presiden Joko Widodo mengadakan 4 kali rapat internal untuk mendorong percepatan konflik agraria termasuk kasus yang berada di kawasan hutan. Sebagai tindak lanjut dari rapat internal yang dilakukan Presiden Joko Widodo, KSP bersama Menteri ATR-BPN, Menteri LHK, TNI/Polri dan kementerian/lembaga terkait berkolaborasi dengan 4 Civil Society Organization (CSO) (KPA, SPI, Gema PS dan Badan Registrasi Wilayah Adat) bersama untuk mempercepat penyelesaian konflik yang dihadapi.
“Tahun ini kita targetkan 137 kasus dari total 1191 kasus yang terdiri dari berbagai kasus di antaranya 251 kasus kehutanan. Salah satu kasus yaitu masalah kawasan hutan membuat persoalan konflik Agraria. Di antaranya masalah kawasan hutan tahapan Pengukuhan Kawasan Hutan yakni lamanya batas dan proses inventarisasi yang menjadi dasar utama penetapan SK perubahan batas kawasan hutan untuk penyelesaian konflik,” jelas Moeldoko.
“Untuk penyelesaian Konflik, atas perintah Presiden Joko Widodo, KSP telah membuat surat kepada TNI/Polri terhadap daerah yang menjadi prioritas yaitu Provinsi (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau, Sulawesi Barat) untuk menghindari konflik di daerah-daerah tersebut. Selain menjadi akselerator konflik yang dihadapi masyarakat, aksi PKH ini juga menjadi faktor penentu proses perizinan melalui OSS,” tambah Moeldoko.
Moeldoko juga menyoroti turunnya Indek Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tentu tidak dapat dilepaskan dengan capaian PKH, Satu Peta serta RDTR yang menjadi salah satu necessasry condition yang harus dipenuhi dalam memulai suatu usaha di wilayah Indonesia.
“Penetapan PKH adalah salah satu aksi dari Strategi Nasional Pencegahan Korupsi sebagaimana tercantum dalam Perpres 54 tahun 2018. Penyelesaian PKH, Satu Peta serta RDTR adalah tiga indikator aksi di fokus sektor perizinan dan tata niaga yang menjadi enabling factors dari berbagai prioritas pembangunan. Ketiadaan ketiganya niscaya dapat menyebabkan pemberian izin lokasi (yang terintegrasi dengan Online Single Submission) tidak akan berjalan dan yang lebih buruk lagi dapat membuka ruang terjadinya pemufakatan buruk praktik korupsi yang pastinya akan merugikan keuangan negara,” tegasnya.
Hingga Juli 2021 hanya 68 daerah di Indonesia yang memiliki Perda/Peraturan Kepala Daerah terkait RDTR. Peraturan ini dibutuhkan karena menjadi basis untuk pemberian izin lokasi, pemanfaatan ruang yang nantinya yang terintegrasi dengan OSS.
“Kedepan masih banyak tantangan yang dihadapi dalam PKH misalnya topografi (sulitnya batas karena kendala aksesibilitas dan kontur kawasan dalam pelaksanaan lapangan), situasi sosial (tantangan pada wilayah dengan tingkat kerawanan konflik yang tinggi), komitmen pemangku kebijakan (perlunya penguatan komitmen untuk pencapaian target Aksi PKH Stranas PK yang saat ini masih rendah),” kata Moeldoko.
Meski ada beberapa tantangan, namun ada peluang di antaranya dukungan politik yang kuat dari Presiden, basis regulasi yang kuat melalui Stranas PK dan UUCK dan peraturan turunannya, dukungan partisipasi publik yang luas. Misalnya dalam pengukuhan kawasan hutan dan tata batas.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 118)