JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kelapa sawit bukanlah penyebab meluasnya deforestasi di Indonesia. Perkebunan sawit tidak berada di kawasan hutan melainkan lahan berstatus APL maupun HPK
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Dr Yanto Santosa, DEA mengatakan sawit bukan merupakan penyebab deforestasi di Indonesia.
Menurutnya, lahan perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia tidak berasal dari kawasan hutan.
“Saya tegaskan bahwa sawit bukan penyebab terjadinya deforestasi di Indonesia. Jadi hasil voting anggota Parlemen Eropa yang menyatakan sawit merupakan penyebab deforestasi itu keliru,” ujar Yanto Santosadi Bogor, kemarin.
Penegasan Yanto Santosa tersebut berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan bersama timnya pada 2016 lalu. Penelitian tersebut dilakukan di 8 kebun sawit milik perusahaan sawit besar (PSB) dan 16 kebun sawit rakyat. Kebun-kebun tersebut berada di Kabupaten Kampar, Kuantan Singingi, Pelelawan, dan Kabupaten Siak di Provinsi Riau.
Dari penelitian tersebut diketahui bahwa lahan yang dijadikan kebun sawit tersebut, sudah tidak berstatus sebagai kawasan hutan. Yanto Santosa memaparkan saat izin usaha perkebunan sawit dan sertifikat hak guna usaha (HGU) diterbitkan, status lahan seluruh PSB sudah bukan merupakan kawasan hutan.
Jika dilihat berdasarkan luasan seluruh areal PSB yang diamati (46.372,38 ha), sebanyak 68,02% status lahan yang dialihfungsikan berasal dari hutan produksi konversi/areal penggunaan lain (APL) 30,01% berasal dari hutan produksi terbatas, dan 1,97% berasal dari hutan produksi.
Adapun status lahan pada kebun sawit rakyat yang diamati (47,5 ha), sebanyak 91,76% status lahannya sudah bukan kawasan hutan saat areal tersebut dijadikan kebun kelapa sawit.
“Hanya 8,24% saja yang masih berstatus kawasan hutan atau areal peruntukan kehutanan (APK),” ujar Yanto Santosa.
Sementara itu, menurut riwayat penggunaan lahan pada delapan lokasi sebelum PSB tersebut beroperasi ada sekitar 49,96% merupakan eks HGU perusahaan lain, 35,99% merupakan eks Hak Pengusahaan Hutan, serta 14,04% merupakan ladang masyarakat lokal dan eks transmigran.
Hal tersebut didukung dengan hasil penafsiran citra landsat mengenai perkembangan tutupan lahan areal konsesi 1 tahun sebelum PSB memperoleh izin usaha. Sebelumnya lahan tersebut sekitar 49,96% berupa perkebunan karet, 35,99% berupa hutan sekunder, 10,7% beruba tanah terbuka, 3,03% berupa semak belukar, serta 0,84% berupa pertanian lahan kering bercampur semak belukar.
“Kalau melihat data itu, di mana letak deforestasinya?,” tandas Yantos Santosa.
Menurut Yanto Santosa, munculnya tudingan itu karena selama ini terjadi perbedaan terminologi definisi soal deforestasi.
Menurut pemahaman orang Eropa dan LSM asing, deforestasi adalah membuka lahanyang memiliki tutupan pohon. “Jadi yang namanya deforestasi seandainya kita punya hutan atau tanaman berkayu banyak, kalau itu dibuka, itu mereka sebut deforestasi,” katanya.
Sementara itu, sebagaimana hukum yang berlaku di Indonesia deforestasi itu merupakan alih fungsi atau perubahan fungsi dari kawasan hutanmenjadi peruntukan non hutan. “Ini kan beda sekali. Artinya tidak peduli walau itu hanya ilalang, kalau itu kawasan hutan ya itu namanya hutan. Dan kalau itu diubah menjadi kebun sawit atau usaha lain, itu baru namanya deforestasi,” paparnya.
Jadi sebagaimana hukum yang berlaku di Indonesia, kata Yanto Santosa,perubahan status dari kawasan hutan menjadi peruntukan non hutan disebut deforestasi.
“Ini pemahaman deforestasi menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Tapi kalau pemahaman Barat, asal ada hutan lantas dibabat untuk kepentingan non hutan, itu namanya deforestasi,”pungkasnya.