Kementerian Kehutanan akan memberlakukan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Penggunaan dan Pelepasan Kawasan Hutan kepada perkebunan kelapa sawit. Aturan ini semakin membebani pelaku usaha dan petani bahkan melenceng dari semangat UU Cipta Kerja.
Surat bernomor S.509/2021 dilayangkan Ruandha Agung Sugardiman, Dirjen Planologi dan Tata Kelola Kehutanan, kepada Sekretaris Jenderal Kementerian LHK, Bambang Hendroyono. Isi surat ini mengenai besaran tarif PNBP untuk penggunaan kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan.
Pelaku usaha yang lahannya diklaim masuk kawasan hutan dapat memilih dua pendekatan. Pendekatan penggunaan yang mewajibkan pengguna untuk membayar tarif setiap tahun. Ibaratnya sewa lahan yang dibayarkan kepada negara. Ada sejumlah sektor usaha yang diharuskan membayar sewa penggunaan kawasan hutan yaitu pertambangan mineral batu bara, ketenaga listrikan, panas bumi, teknologi EBT, kegiatan migas, kegiatan saranan komunikasi dan informasi, kegiatan sarana transportasi dan fasilitasumum, TPA sampah, fasilitas pengolahan limbah, prasarana keselamatan umum, karantina, kegiatan pertanian, kegiatan pemulihan lingkungan, wisata alam, dan wisata rohani.
Bagi penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit beserta sarana dan area pengembangan/area penyangga, usulantarif yang harus dibayar sebesar Rp 4,35 juta per hektare per tahun.
Opsi lain adalah mengajukan pelepasan kawasan hutan. Besaran tarif bergantung jenis tutupan lahan yaitu hutan alam, hutan tanaman, tutupan non hutan, dan pelepasan perkebunan sawit UUCK (Pasal 110A). Bagi perkebunan sawit yang ingin lepas dari kawasan hutan diusulkan membayar Rp 13.449.640/ha.
Dr. Sadino, Praktisi Kehutanan, menjelaskan dalam pasal 110A UU Cipta Kerja adanya klausul setiap orang melakukan kegiatan usaha telah terbangun dan punya perizinan berusaha di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya UU Cipta Kerja yang belum penuhiper syaratan, maka wajib selesaikan persyaratan selambatnya 3 tahun.
Selanjutnya, apa bila melewati waktu 3 tahun sejak berlakunya undang-undang dan tidak menyelesaikan persyaratan, sanksi yang dijatuhkan berupa pembayaran denda administrasi dan pencabutan perizinan berusaha.
“Tetapi realita di lapangan tidak sesuai bunyi UU CiptaKerja. Karena masih terjadi penyitaan terhadap kebun dan pabrik sawit yang berada di kawasan kehutanan,” ujarnya.
Sadino mengatakan dalam aturan turunan UU Cipta Kerja sudah ada kewajiban membayar Pembayaran Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) sebagaimana tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif.
“Jadi harus dibedakan antara hak atas tanah dengan kawasan hutan. Dalam PP 23/2021, jadi dalam kawasan hutan itu ada persyaratan, lalu bukan dibebani kepada PNBP. Jadi, kita harus mengumpulkan data jumlah petani dan pelaku usaha yang mempunyai hak atas tanah,” ujarnya.
Semangat UU Cipta Kerja adalah penciptaan lapangan kerja dan melindungi investasi. Tapi realitanya di produk turunan malahan membebani pelaku usaha dan petani. Di pasal 110A bersifat berlaku surut, namun penerapan di lapangan sangat berbeda.
Sadino juga mempertanyakan bagi kebun yang sudah terbangun sebelum UU Cipta Kerja. Lalu ada permintaan untuk pelunasan tagihan PSDH-DR. Lalu, apakah kita mau mengakui kawasan hutan yang dipakai itu sudah benar. Karena definisi kawasan hutannya sudah berbeda di luar hak atas tanah.
“Lalu kalau ada tumpang tindih, tetap kena PNBP. Sawit mau ada konflik atau tidak. Tetapi dibebani tarif PNBP,” jelasnya.
Sadino menyebutkan investasi sawit semakin mahal karena pelaku industri terbebani pembayaran PNBP dan tarif PSDH-DR.”Sejak awal, kita tidak pernah terbuka kepada masyarakat dan pelaku usaha berapa biaya harus dikeluarkan. Ini sama saja menghilangkan perkebunan sawit dalam konteks kawasan kehutanan,” urainya.
Petrus Gunarso, Dewan Pakar Persaki, menjelaskan dari 3,4 juta ha sawit yang berada atau diklaim berada, atau tumpang tindih dengan Kawasan hutan. Maka dengan simulasi di atas taksiran PNBP yang akan diperoleh oleh negara senilai Rp 94,2 triliun (dengan asumsi rerata per ha tarif PNBPnya sebesar Rp 27,7 Juta/ha).
“Dalam hal pelepasan Kawasan Hutan mestinya diikuti dengan penyerahan ke ATR-BPN untuk administrasi pertanahan selanjutnya. Nyatanya tidak demikian sehingga banyak yang sudah dilepaskan tidak juga bisa disertifikatkan. Yang dirugikan dalam hal ini adalah rakyat,” paparnya.
Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang, Akademisi Universita Indonesia, menjelaskan Konsep PNBP adalah dalam pemanfaatan SDA harus mempertimbangkan dampak pengenaan tarif kepada masyarakat, dunia usaha, pelestarian alam dan lingkungan, serta sosial budaya. Konsep ini harus menjadi penting harus dijalankan secara prosesual, tidak dapat hanya didasarkan pada kepentingan sendiri, jika ada sosialisasi dan konfirmasi terlebih dahulu.
“Tarif yang dibebankan atas hal yang dilakukan terdahulu bukan kesalahan warga masyarakat dan dunia usaha, tetapi kesalahan atas perubahan sikap pemerintah, yang seharusnya disosialisasikan dahulu atau ada ketentuan peralihan kedepan,” kata Dian Simatupang.
Ia menambahkan atas ketentuan penetapan PNBP dalam UU Cipta Kerja, dapat dilakukan usulan kepada Pemerintah dan DPR agar rencana pemungutan PNBP yang berlaku surut, dimintakan perubahan kebijakan pemerintah, sehingga melakukan penyesuaian atas rencana PNBP, sesuai Pasal 22 UU PNBP. Seharusnya KLHK akan meminta penyesuaian ini kepada Menteri Keuangan untuk ditelaah.
“Atas ketentuan penetapan PNBP dalam UU Cipta Kerja, dapat ditetapkan tarif 0 atau 0 persen dengan pertimbangan norma UU cipta kerja di luar kemampuan wajib bayar,” ujarnya.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 119)