Restorasi gambut menjadi pintu masuk investasi asing ke Indonesia. Pemerintah mengajak investor global dan negara donor untuk terlibat kegiatan budidaya di lahan gambut.
Sebulan sebelum berkunjung ke sidang umum PBB di New York, Wakil Presiden Jusuf Kalla memanggil Nazir Foead, Kepala Badan Restorasi Gambut ke Istana Wakil Presiden di Jakarta. Dalam pertemuan ini, JK – sebutan untuk Jusuf Kalla – mengutarakan niatannya untuk mengajak investor asing dalam program restorasi gambut.
Demi menarik investor, BRG mempersiapkan bahan presentasi mengenai roadmap investasi di lahan gambut. “Pak JK meminta kami persiapkan bahan dalam pertemuan tersebut. Ada arahan bagaimana cara menjual program restorasi gambut kepada investor internasional,” kata Nazir pada akhir Agustus lalu.
Di luar agenda sidang umum PBB, BRG membuat pertemuan bertajuk “Kontribusi Investasi Global untuk Restorasi Gambut Delegasi Indonesia” di New York pada 21 September 2016. Pertemuan ini akan dihadiri kalangan investor global dan negara donor.
“Kita mengundang investor supaya ikut program restorasi baik dari dalam dan luar negeri,” kata Nazir dalam kesempatan terpisah melalui layanan pesan WhatsApp.
Nazir menjelaskan kegiatan lembaga yang dipimpinnya tidak sebatas pemulihan ekosistem gambut supaya tidak mudah terbakar. Melainkan menciptakan inisiatif bisnis dan investasi dari dalam serta luar negeri. “Mereka masti menunggu seperti apa paket kebijakan yang ditawarkan pemerintah. Lalu dimana lokasi dan keuntungan apa yang akan diberikan,” jelas mantan pimpinan WWF Indonesia .
Ditambahkan Nazir, Presiden Joko Widodo memang menargetkan 2 juta hektar lahan yang perlu direstorasi. Namun secara luasan total gambut yang perlu dijaga 6 juta hektar lebih plus lahan seluas 6 juta hektar lagi yang masih utuh.
Kegiatan yang bisa dilakukan investor disesuaikan kondisi gambut. Nazir menuturkan gambut yang sudah rusak terlibat dalam kegiatan restorasi. Apabila masuk kawasan budidaya maka dapat ditanami dengan tumbuhan sesuai ekosistem gambut. “Jika masuk kawasan lindung, keterlibatan perusahaan mengarah konservasi,” ujarnya.
Walaupun, belum jelas keuntungan yang diperoleh investor dalam restorasi gambut. Nazir berani menjanjikan banyak keuntungan yang diperoleh investor. Pertama,ketika program ini berjalan maka keuntungan yang diperoleh dari hasil tanaman dapat dibagi sesuai kesepakatan prosentase.
Kedua, keuntungan berasal dari perdagangan karbon. Contohnya saja skema kerjasama pemerintah Norwegia telah bekerja sama dengan Indonesia di dalam program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD++).
Sejumlah investor maupun pemberi donor diklaim tertarik terlibat dalam restorasi gambut. Salah satunya Norwegia yang berjanji memberikan bantuan senilai US$ 1 miliar dalam bentuk hibah pengurangan karbon. Norwegia adalah negara yang sebelumnya pernah menjanjikan nilai serupa untuk kebijakan moratorium gambut di era Presiden SBY.
Keinginan “mendagangkan” restorasi gambut menuai kritikan berbagai pihak. Firman Soebagyo, Anggota Komisi IV DPR RI, menyayangkan niatan pemerintah menawarkan gambut kepada investor asing. Alasannya, keterlibatan asing belum mendesak justru menimbulkan persoalan baru. “Jangan semua kepentingan nasional digadai kepada asing,” pinta Firman dalam layanan pesan singkat.
Kalangan masyarakat sipil menyayangkan ajakan pemerintah kepada investor asing. Gunawan , Ketua Pertimbangan Organisasi Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) menegaskan seharusnya yang dikedepankan dalam permasalahan lahan gambut adalah politik konservasi, baik dalam konteks perbaikan maupun menjaga kelestariaan secara berkelanjutan.
(Ulasan lebih lengkap silakan baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 September-15 Oktober 2016)