MEDAN, SAWIT INDONESIA – Kalangan akademisi sepakat meminta peninjauan ulang Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.579/Menhut-II/2014 tanggal 24 Juni 2014 tentang Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara. Keberadaan beleid ini dinilai menghambat percepatan program Peremajaan Sawit Rakyat khususnya di Sumatera Utara dan tumpang tindih dengan sektor lain .
Dr. Sudarsono Soedomo, Akademisi IPB, mengatakan dasar lahirnya SK.579/2014 dari PP 10/2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan. Sebelumnya sudah terbit SK.44/Menhut-II/2005 yang menunjuk kawasan hutan seluas 3.742.120 Ha. Namun usia SK.44/2005 hanya delapan tahun setelah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Agung melalui Putusan 47/P/Hum/2011 pada 23 Desember 2013.
“Setelah itu, lahirlah SK.579/2014 yang menyebutkan kawasan hutan di Sumut seluas 3.055.785 ha. Namun terbitnya aturan ini malahan menimbulkan persoalan. Dan SK.579 ini masih bersifat penunjukan. Artina belum final,” jelas Sudarsono.
Fakta ini diungkapkannya saat menjadi pembicara di IPOS (Indonesian Palm Oil Stakeholders) Forum ke-6 bertemakan “Keberhasilan PSR dan Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit Nasional Melalui Kepastian Hukum Hak Atas Tanah”, Kamis (26 Agustus 2021).
Sudarsono menjelaskan berbeda dengan SK. 44/Menhut-II/2005 yang jelas berjudul penunjukan, maka SK. 579/Menhut-II/2014 berusaha mengaburkan status tersebut.
”Karena SK.579 tidak langsung mengatakan penunjukan. Jadi berupaya disamarkan statusnya ini. Beleid ini tidak menyebutkan langsung penunjukan atau penetapan kawasan hutan Sumut,” ujarnya.
Dalam presentasi berjudul INDONESIAN PALM OIL: Paradox Kawasan Hutan Masuk Kebun Sawit, Sudarsono menjelaskan bahwa terdapat dokumen Renstra DisHut Sumut 2019-2023 halaman II-42 jelas tertulis dari panjang batas kawasan hutan 15.736 km, baru 6.479 km yang telah ditatabatas.
“Artinya lebih dari separuh belum ditatabatas. Hal ini mengindikasikan tata batas belum selesai. Jika (lahan) belum selesai tata batas, ini mengindikasikan bukan kawasan hutan. Saya yakin sebagian besar itu belum sampai temu gelang karena ini menjadi persyaratan untuk proses kawasan hutan,” ungkapnya.
Sudarsono menyakini tatabatas belum selesai dan dengan demikian SK. 579/Menhut-II/2014 hanya bersifat penunjukan. Jadi, yang disebut kawasan hutan di Sumut, paling tidak sebagian, bukan kawasan hutan.”Jadi, silakan diuji materi lagi,” jelasnya.
Dikatakan Sudarsono, wewenang Menteri KLHK menerbitkan SK pengukuhan atau penetapan kawasan hutan baru dapat dilakukan apabila belum ada penunjukan langsung dari pemerintah. Pemerintah disini berarti Presiden RI. Setelah ada penunjukan, barulah Menterk KLHK menindaklanjuti dengan menatabatas kawasan tadi.
“Tetapi yang terjadi sekarang, pekerjaan pemerintah diserobot Menteri Kehutanan dengan menerbitkan surat penunjukan kawasan hutan seenaknya. Karena penunjukan kawasan hutan ini akan berdampak kepada sektor lain. Maka dilakukan secara komprehensif,” urai Sudarsono.
Ia mengatakan kebijakan kehutanan sering menimbulkan ketidakpastian dan ekonomi biaya tinggi. Oleh karena itu, sebaiknya KLHK hanya mengurus hutan saja. Sedangkan, tanah atau kawasan hutan diurus lembaga nonsektoral.
Dr. Petrus Gunarso, Dewan Pakar Persaki, menegaskan tanpa perubahan sistem dalam penetapan Kawasan Hutan, maka kepastian berusaha dan kepastian hak akan tanah akan selamanya terpasung. Dalam hal ini, Kementerian LHK seharusnya berperan sebagai pengayom bagi seluruh sektor karena fungsi jamak dari hutan.
Ia juga mengatakan KLHK sebaiknya merubah sistem dalam penetapan kawasan hutan menjadi lebih manusiawi dengan mengadopsi asas yang berlaku umum dalam pendaftaran tanah yaitu “Contradictiore delimitatie”. Selanjutnya, pihak kementerian dapat bergotong-royong dengan sektor-sektor lain dalam upaya percepatan penyelesaian penataan kawasan hutan.
Dr. Sadino, Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum & Kebijakan Kehutanan, mengatakan apabila masyarakat tidak setuju dengan SK.579/2014 dan produk serupa di provinsi lain sejatinya tidak dapat dikenakan hukum pidana dan sebagainya.
Menurut Sadino, setelah tahun 1999, seluruh SK Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi telah mengalami perubahan, sehingga Ketentuan Peralihan Pasal 81 UU Kehutanan tidak dapat dijadikan dasar bahwa kawasan hutan ditunjuk memiliki kekuatan hukum. Hal ini sesuai dengan Pertimbangan Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011.
Berdasarkan Putusan MK dan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, alas hak yang berada di kawasan hutan baik itu yang ditunjuk ataupun ditetapkan, mendapatkan perlindungan hukum, dan harus dikeluarkan dari kawasan hutan.