JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kalangan peneliti sawit yang tergabung dalam Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI) menolak pernyataan dalam buletin resmi WHO yang menuding industri sawit sama seperti industri tembakau dan alkohol yang berdampak bagi kesehatan. Buletin ini ditulis oleh Kadandale, S., Marten, R., dan Smith, R. bertajuk “The Palm Oil Industry and Noncommunicable Disease”.
Masyarakat PerkelapaSawitan Indonesia (MAKSI) sebagai asosiasi terbesar peneliti kelapa sawit Indonesia merespon paper tersebut dengan melakukan Focus Group Discussion: Sikap Cendekiawan Sawit Indonesia terhadap Penyetaraan Industri Sawit dengan Industri Tembakau dan Alkohol untuk mengkaji lebih dalam dan menentukan sikap terhadap paper tersebut.
Hal ini diungkapkan dalam FGD digelar di Hotel Grand Tjokro Jogjakarta pada tanggal 25 – 26 Januari 2018 dengan mendatangkan 40 peneliti sawit dari seluruh Indonesia dengan dukungan penuh dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Pada kesempatan inii, hadir perwakilan Koordinator Wilayah MAKSI diantaranya MAKSI Korwil Kalsel dan Kalteng, MAKSI Korwil Bengkulu, MAKSI Korwil Jambi, MAKSI Korwil Kalimantan Barat dan MAKSI Korwil Sumatera Barat.

“Kami (MAKSI) konsen dan mendorong seluruh stakeholder sawit untuk turut mensukseskan industri kelapa sawit yang berkelanjutan,” ujar Ketua Umum MAKSI, Dr.Darmono Taniwiryono.
Darmono mengajak seluruh peneliti sawit Indonesia untuk lebih banyak menulis pada jurnal-jurnal internasional antara lain IJOP (International Journal of Oil Palm) yang dikelola MAKSI untuk dapat mengemukakan fakta-fakta sawit sesungguhnya. Serta mengajak awak media untuk lebih mengedepankan objektivitas dalam memberitakan informasi terkait isu kelapa sawit.
Dalam diskusi tersebut, Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc ahli pangan UGM berkesempatan membedah paper tersebut secara sistematis dan ilmiah. Dimana banyak celah paper tersebut tidak berimbang dalam menyajikan data-data sekunder yang didapatkan, terlebih lagi konklusi paper tersebut tidak berkesesuaian dengan tujuan penelitian yang di sampaikan dibagian awal paper tersebut.
Senada dengan Prof. Sri Raharjo, Dr. Puspo Edi Giriwono sekretaris eksekutif SEAFAST Center LPPM IPB menyatakan bahwa paper tersebut tidak mengedepankan keberimbangan informasi terkait kelapa sawit bahkan bertolak belakang dengan penemuan-penemuan lain terbaru, tidak menyasar kepada solusi tetapi lebih kepada membangun wacana bahwa kelapa sawit adalah sumber masalah dalam kemunculan penyakit tidak menular.
Di akhir diskusi Cendekiawan Sawit Indonesia yang terdiri dari para akademisi, peneliti kelapa sawit di bawah koordinasi MAKSI sependapat bahwa artikel yang dipublikasikan pada Buletin WHO tersebut bukan studi yang dilakukan oleh WHO, bukan kebijakan atau sikap resmi dari WHO. Di samping itu, penerbit paper tersebut (WHO) menyatakan tidak bertanggung jawab atas isi yang ada disetiap paper yang diterbitkan.
Paper tersebut ditulis bukan oleh peneliti sawit. Metode yang digunakan dalam penulisan paper tersebut menggunakan pendekatan sitasi data sekunder yang terlihat tidak sesuai dengan konten yang disadur. Disamping itu, penerbitan paper tersebut melalui peer-reviewed namun tidak diketahui apakah reviewer pada paper tersebut adalah peneliti sawit atau bukan.
Oleh karena itu, paper yang dihasilkan melahirkan paper yang bias, maka Cendekiawan Sawit Indonesia sependapat untuk menyatakan sikap Menolak penyetaraan Industri Kelapa Sawit dengan Industri Tembakau dan Alkohol terkait, dengan mempertimbangkan paper tersebut ditulis tidak menggunakan data yang berimbang antara dampak positif dan dampak negatif akibat dari industrialisasi kelapa sawit.