Penulis: Dr. Purwadi (Direktur Pusat Kajian Kelapa Sawit Instiper)
Apabila selama 4 bulan terakhir kita melihat ada kisruh di perdagangan minyak goreng, maka seminggu terakhir kita melihat kisruh diperdagangan TBS pekebun sawit rakyat. Bagaimana sebenarnya hal ini bisa terjadi, selanjutnya menjadi isu yang bisa mendapat perhatian semua masyarakat konsumen, politikus, pakar, produsen migor dan juga petani?
Kebijakan yang kurang cermat dan berganti-ganti telah menyebabkan ketidakpastian dalam perdagangan minyak goreng, dan ini menumbuhkan resiko dan ketidakpastian pasar akibat adanya ketidakpastian suplai dan harga. Kalau pada awalnya ketidakpastian ada di perdagangan minyak goreng dimana harga naik dengan tidak bisa diprediksi, maka seminggu terakhir setelah kebijakan larangan ekspor CPO dan beberapa hasil turunannya, bandul ketidakpastian beralih ke perdagangan TBS pekebun sawit rakyat dan telah menjadikan pekebun rakyat merugi.
Kebijakan yang berubah-ubah telah membuat kebingungan pelaku industri dan pasar, apa yang dilakukan oleh setiap pelaku industri dan pelaku pasar (pedagang), adalah wait and see, menunggu sambil bekerja secara hati-hati dan membebankan resiko pada nilai komoditas dengan nilai tinggi. Kehati-hatian itu barangkali salah satu yang menyebabkan suplai “seret” dan harga berfluktuasi karena pedagang akan memberikan tambahan nilai tertentu untuk mengambil resiko kerugian, contoh sederhana, seorang pedagang minyak goreng eceran, mereka biasanya mengambil margin Rp 750-Rp 1.000/liter. Dalam ketidakpastian pasar maka pedagang akan membebankan resiko atas ketidakpastian terkait kenaikan atau penurunan harga dengan nilai lebih tinggi, dan akhirnya mereka menetapkan marginnya menjadi Rp 1.250-Rp 1.500/liter. Apakah mereka ingin memperoleh keuntungan lebih? Barangkali tidak demikian, karena tambahan margin ini belum tentu bisa menutup resiko kenaikan atau penurunan harga. Jadi pedagang itu juga repot kalau terjadi gejolak harga karena ketidakpastian. Tidak ada seorang pedagangpun senang terhadap ketidakpastian pasar, mereka menginginkan pasar yang stabil sehingga resiko rendah.
Bagaimana dengan perdagangan TBS pekebun sawit rakyat? Pekebun sawit rakyat 93 % adalah pekebun mandiri, tidak melakukan kemitraan. Penjualan pekebun mandiri ini sepenuhnya bergantung kepada pedagang TBS yang selanjutnya menjual kepada Pabrik Kelapa Sawit. Adanya larangan ekspor telah membuat ketidakpastian perdangangan CPO dan hasil turunannya. Yang jelas dampak langsung memiliki efek domino dirasakan oleh oleh pabrik dan pedagang CPO serta pedagang TBS serta pekebun rakyat.
Ketidakpastian perdagangan CPO membuat Pabrik Perkebunan Kelapa Sawit untuk bersikap “wait and see” menunggu bagaimana arah kebijakan selanjutnya dan sampai kapan berlangsung. PKS memiliki waktu untuk mengelola stoknya dalam kisaran dua hingga empat minggu. Bagaimana dengan perdagangan TBS, ketidakpastian telah menyebabkan fluktuasi harga setiap hari baik turun atu naik? Sama dengan pedagang pengecer migor, maka pedagang TBS juga menempatkan nilai resiko atas ketidakpastian harga ini menjadi lebih besar. Pada saat pasar stabil. Jika pedagang saat pasar normal hanya mengambil margin Rp 200-Rp 300/kg TBS, namun saat terjadi ketidakpastian mereka akan menambah marginnya untuk mengambil resiko dari ketidakpastian itu hingga Rp 300-Rp 450/kg TBS.
Ketidakpastian kebijakan ini juga membingungkan bagi PKS, namun mereka ada di pasar oligopsoni, memiliki daya tawar yang tinggi dan mereka dapat mengatur operasional pabrik dan mengelola tangki timbun, maka mereka akan mengatur pembelian buah dari petani, bahkan berpeluang untuk lebih menentukan harga.
Jelas sudah petani akan menjadi pihak yang menjadi korban dari kondisi perdagangan TBS yang penuh resiko dan ketidakpastian akibat ketidakpastian kebijakan. Kebijakan larangan ekspor telah membuat ketidakpastian pasar TBS, psikologi pasar bergolak lebih cepat, lebih dominan mempengaruhi fluktuasi harga yang berakibat semua pelaku meningkatkan nilai resiko.
Resiko kerugian adanya kebijakan larangan ekspor, barangkali masih mampu dikelola secara baik oleh Perkebunan besar dan Pabrik Kelapa Sawit dalam waktu satu hingga dua bulan? Bagaimana dengan petani, saat ini tidak berfikir resiko kerugian, tapi secara riil dan instan memang sudah menderita kerugian alias “dirugikan”. Dengan perhitungan bahwa, produksi CPO saat ini mencapai 4 juta ton per bulan, perkebunan rakyat menyumbang 35 % persen atau setara dengan 1,4 juta ton/bulan atau setara 350 ribu ton/minggu dengan penurunan harga rata-rata 50 persen atau setara Rp 1.800,-/kg, maka potensi pendapatan yang gagal diterima selama seminggu terakhir mencapai Rp 630 miliar. Siapa yang bertanggung jawab terhadap kerugian petani? Petani sangat menginginkan perlindungan dari pembuat kebijakan. Barangkali pemerintah melalui BPDP-KS dapat membantu meringankan beban kenaikan agroinput kimia khususnya pupuk yang naik berlipat, atau segera merealisasikan bentuan sarana-prasarana untuk meningkatkan keragaan perkebunan rakyat.
Saat ini kebijakan pemberian BLT migor sudah berlangsung, masyarakat yang perlu dibantu telah memperoleh bantuan dan mampu membeli migor dengan harga keekonomian, masyarakat yang mampu bisa memperoleh minyak goreng secara cukup. Saatnya pemerintah meninjau ulang kebijakan larangan ekspor CPO dan beberapa industri turunan lainnya, yang telah berdampak pada hilangnya potensi pendapat petani.