Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian Kementerian Pertanian RI berhasil mengembangkan biodiesel 100% atau B-100. Mengarahkan Indonesia berdaulat dalam energi terbarukan.
Kementerian Pertanian (Kementan) melalui program penelitian berhasil mengembangkan bahan bakar Biodisel B-100 atau 100 persen Biosolar. Biodiesel B-100 adalah satu bahan bakar yang tidak lagi menggunakan minyak berbasis fosil tapi dari yang lebih terbarukan seperti jagung, kelapa sawit atau lainnya.
“Impian Indonesia ciptakan biodisel B100 dari CPO (Crude Palm Oil -red) berhasil terwujud. Bahan bakar yang berasal dari 100 persen CPO dengan rendemennya 87 persen ini masih terus dikembangkan. Semua tidak ada campuran,” demikian kata Amran saat meninjau Balai Penelitian Tanaman Industri Penyegar, Badan Litbang Pertanian Kementan, tempat pembuatan B100 di Sukabumi, Jawa Barat.
Boleh
dikatakan, ujicoba menjawab keinginan Presiden
RI, Joko Widodo (Jokowi) untuk mencapai program Biodiesel 100% atau
B100. Jokowi mengatakan program B20 sudah
berhasil dijalankan untuk masuk biofuel. Nantinya, akan bertahap menjadi
program B100. Alhasil, Indonesia tidak perlu lagi bergantung kepada impor
minyak.
“Sekarang B20 sudah rampung. Lalu kita menuju B100. Sekarang ini, 30% dari
total produksi kelapa sawit akan masuk ke biofuel. sudah rigid dan jelas. Kita
kerjakan yang ini sehingga tidak
ketergantungan minyak dan impor. Targetnya itu, Pak,”kata Jokowi dalam
Debat Calon Presiden pada Februari 2019.
Amran menambahkan B100 ini inovasi dari Badan Litbang Pertanian. Ingat ini B100 bukan B20 atau B30. Bahan bakar B100 ini memiliki keunggulan jika diproduksi nantinya yakni lebih efisien 40 persen dibanding bahan bakar fosil. Dengan menggunakan bahan bakar fosil seperti solar, 1 liternya hanya dapat menempuh jarak 9,4 kilometer, sedangkan dengan menggunakan B-100 dimungkinkan menempuh jarak hingga 13 kilometer per liter.
Selain itu, penggunaan B100 diyakini akan lebih murah, ramah lingkungan, dan dapat mensejahterakan petani sawit, serta tentunya menghemat devisa. Karenanya, adanya B100 ini dipastikan dapat memperkuat ketahanan energi nasional. “Kita punya CPO 38 juta ton. Kita ekspor 34 juta ton. Bisa bayangkan kita bisa menghemat berapa triliun. Ini adalah energi masa depan indonesia,” terang Amran.
Ke depan, lanjut Amran, B100 ini mungkin akan diproduksi untuk digunakan masyarakat umum. Namun demikian, hal ini membutuhkan waktu dan kerja keras dan bersama semua pihak. “Kita optimalkan CPO. Produksi CPO kita 46 juta per tahun. Kita yang mensuplai dunia,” terang Amran.
Di tempat yang sama, Peneliti Utama Bidang Ekofisiologi Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar, Kementerian Pertanian, Prof. Dr. Dibyo Pranowo mengatakan dari seluruh analisis, hanya satu determinan yang perlu di kaji kembali, yaitu karbon residu yang dihasilkan dari B100 CPO Sawit. Sedangkan 19 determinan lainnya sudah lolos uji.
“Sampai sekarang ini sudah memproduksi hampir dua ton dengan menggunakan reaktor biodiesel ciptaan sendiri. Produksi ini merupakan penyempurnaan parameter dengan metode Dry Oil,” jelasnya.
Menurut Amran, “Dalam 1 bulan ini, percobaan telah dilakukan dengan pengaplikasian B100 CPO Sawit untuk bahan bakar kendaraan. Kendaraan yang dipergunakan adalah Hilux.”
Dibyo menyebutkan kendaraan double cabin yang sudah menempuh jarak 1.600 km menggunakan bahan bakar B100 CPO Sawit. Tidak lama lagi, setelah 2.000 km akan membongkar mesin kendaraan tersebut untuk meneliti karbon residu yang ditimbulkan. “Ada beberapa bahan Biodisel, misalkan dari kemiri sunan, nyampulung, pongamia, kelapa, kemiri sayur, termasuk dari biji karet,” sebutnya.
Dijelaskan Dibyo menjelaskan penggunaan CPO Sawit merupakan yang terbaik sampai saat ini. Pasalnya, di lihat dari skala jumlah industri sawit yang sudah siap dan juga pasokan yang melimpah.
“Teknologi B100 menjadi teknologi bahan bakar terbaru yang akan menjadi alternatif untuk Indonesia di masa depan. Pemerintah berusaha mendorong hal ini melalui Kementerian Pertanian,” pungkasnya.
Bernard Riedo, Wakil Ketua Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI) mengatakan ujicoba B-100 ini perlu diperjelas seperti apa dan apakah skala industri atau sebatas uji coba. “Saat ini, kami (anggota APROBI) baru produksi di lokal untuk skala industri yang FAME. Implementasi B-100 mesti didukung dengan SNI pula,” jelasnya.
Sementara itu, Kanya Lakshmi Sidarta, Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) meminta penerapan B100 sebaiknyaa dilihat lebih cermat B-100. Karena kondisinya sekarang ini semua solar yang dipakai di masyarakat adalah campuran 20% (B-20). Untuk beralih langsungn kepada B-100 tidaklah mudah karena banyak pengujian yang perlu dilakukan.