JAKARTA, SAWIT INDONESIA – PT Astra Agro Lestari Tbk mendukung kebijakan stabilisasi minyak goreng melalui Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO). Santosa, Presiden Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk menjelaskan perusahaan mendukung kebijakan yang diterbitkan Kementerian Perdagangan RI melalui skema DMO-DPO supaya harga minyak goreng dan pasokan kembali normal.
“Kami dukung stabilisasi harga minyak goreng melalui DMO-DPO. Memang kebijakan ini masih butuh adjustment. Secara teknis, tidak bisa secepat itu (berjalan). Memang di awal tidak mudah. Tetapi dalam satu dua minggu mendatang akan terlihat hasilnya,” jelas Santosa dalam Talk to The CEO 2022 yang berlangsung virtual, Selasa (15 Februari 2022).
Santosa menjelaskan kewajiban DMO sebesar 20 persen ini berarti eksportir yang ingin mengekspor 10 ribu ton. Maka alokasi kepada domestik sebesar 2.000 ton untuk kebutuhan minyak goreng.
“Volume ini harus benar-benar dialokasikan tidak sebatas dijual. Melainkan juga didistribusikan dengan menggunakan HET pemerintah sehingga minyak goreng kembali stabil,” jelasnya.
Terkait kebijakan Domestic Price Obligation (DPO) CPO dan olein, dikatakan Santosa, perusahaan akan melakukan penyesuaian untuk menghitung ulang biaya produksi dan penjualan sebagai dampak kebijakan tersebut.
Pemerintah menetapkan harga DPO sebesar Rp 9.300 per kilogram untuk CPO. Harga sebesar ini dipakai memenuhi kewajiban DMO 20%. Dikatakan Santosa, perusahaan masih ada kesempatan untuk menjual CPO sesuai harga pasar. Artinya, ada 80% CPO dari produksi yang dijual memakai harga pasar sekitar Rp 15.000 per kilogram. Ini berarti, masih ada harga rata-rata sebesar Rp 13.500 per kilogram.
“Jadi, kami masih bisa blended dengan 80 persen CPO yang dijual melalui harga pasar. Kebijakan DMO-DPO ada pengaruhnya atau tidak? Pasti ada . Namun tidak terlalu berdampak kepada Astra Agro. Selama harga rata-rata masih di atas cost (produksi),” ujar lulusan Universitas Gajah Mada ini.
Santosa menuturkan konsekuensi DMO-DPO tetap dirasakan perusahaan yang telah membuat komitmen dengan pembeli luar negeri. Perusahaan menghadapi dua sisi berbeda. Di satu sisi, ada perjanjian bisnis dengan pembeli. Sisi lainnya ada kewajiban memenuhi kebutuhan dalam negeri sesuai keputusan pemerintah.
“Jika sudah ada komitmen dengan pembeli. Tidak bisa dilakukan default (melalaikan kewajiban). Reputasi kita termasuk negara akan menghadapi masalah. Balancing ekspor (sawit) sebagai pemasukan devisa perlu diperhitungkan juga,” jelasnya.
Dikatakan Santosa, permasalahan minyak goreng seharusnya tidak perlu serumit sekarang. Sebab, kebutuhan sawit untuk makanan termasuk minyak goreng rerata 8 juta ton di dalam negeri. Dari jumlah tadi, kebutuhan minyak goreng untuk rumah tangga antara 2,5 juta sampai 3 juta ton.
“Kebutuhan minyak goreng selain emak-emak, adapula digunakan industri. Namun sewaktu pemerintah mengumumkan HET Rp 14 ribu per liter untuk kemasan. Lalu ibu-ibu borong semua. Akibatnya berdampak kepada stok yang tidak mampu mencukupi,” pungkas Santosa