JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) menyesalkan sikap Pepsico dan Friesland Campina yang menghentikan pembelian minyak sawit dari Indonesia, terkhusus kesalah satu perusahaan sawit. Siaran pers yang disampaikan perusahaan tersebut dan juga Walhi dinilai tidak didukung data kuantitatif yang baik karena semuanya sebatas kualitatif.

“Sebagai peneliti dan petani, saya menilai perusahaan dan NGO tadi sorr sendiri. Memang tuduhan mereka diarahkan kepada salah satu perusahaan sawit di Indonesia. Tapi secara spesifik sangat tendensius menyudutkan sawit di Indonesia dan kami ada disana yaitu 17 juta petani sawit dan pekerja sawit, ” jelas Dr. Gulat ME Manurung, C.IMA, Ketua Umum DPP APKASINDO.

Gulat bahkan mengajak Uli Artha Siagian perwakilan Walhi untuk berdebat ilmiah masalah sawit dengan petani.

“Posisi kami kami tidak ingin membela atau menyudutkan siapapun. Bahwa kami petani hidup dan bekerja dari sawit termasuk mata pencaharian dan masa depan keluarga kami. Petani sawit dari Aceh sampai Papua sudah berusaha dengan sekuat tenaga untuk berperan aktif dan komitmen untuk sawit berkelanjutan,” urainya.

Walaupun, kebun sawit petani baru sekitar 0,42% (28 ribu hektar) yang bersertifikasi ISPO. Namun dengan segala keterbatasan yang dimiliki petani sawit, kami berusaha menjaga keseimbangan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan.

“Cara yang dilakukan Walhi juga Pepsico dan Campina menyudutkan sawit secara umum artinya tidak menghargai upaya petani sawit,”tegas Gulat.

Gulat menjelaskan baru 0,42% yang meraih ISPO, namun dari hasil penelitian yang saya lakukan dan biayai sendiri, justru dimensi keberlanjutan dari aspek lingkungan, perkebunan sawit rakyat lebih tinggi (terkhusus biodiversitas) dalam hal menjaga kelestarian lingkungannya dibandingkan dua dimensi lainnya.

Ia mengingatkan bahwa sertifikasi itu adalah kertas dan cost. Fakta di lapangan tidak bisa dipungkiri bahwa kearifan lokal petani sangat bersahabat dengan kelestarian lingkungannya.

“Tolong Uli Artha Walhi melihat petani sawit yang sudah berjibaku di tengah kebun sawit untuk bisa hidup dan bertahan. Mengganggu sawit sama dengan mengganggu masa depan petani sawit dan sebaiknya data-data yang didapat harus di uji secara ilmiah, tidak hanya narasi,” pintanya.

Gulat meminta PepsiCo sebagai perusahaan yang sudah mendunia, jangan terlampau mudah terpengaruh oleh laporan pihak tertentu, tapi harus melakukan uji lapangan dan mengajak berbagai pihak berdiskusi, termasuk kami petani sawit yang saat ini sudah generasi kedua.

Gulat menjelaskan, ada kemungkinan Uli Artha baru sesekali ke kebun atau tidak menutup kemungkinan sanak familinya banyak juga petani sawit.

“Jadi mari kita sama-sama menjaga sawit sebagai bagian dari pemersatu bangsa, aset negara, dengan cara yang lebih ilmiah dan mengedepankan tiga aspek dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Tidak hanya bicara lingkungan dan mengabaikan dua aspek lainnya,” jelasnya.

Selain itu, Gulat meminta PepsiCo sebagai perusahaan yang sudah mendunia, jangan terlampau mudah terpengaruh oleh laporan pihak tertentu, tapi harus melakukan uji lapangan dan mengajak berbagai pihak berdiskusi, termasuk kami petani sawit yang saat ini sudah generasi kedua.

“Saya tidak perlu membayangkan betapa meruginya kami atas berita ini. Yang harus dipahami 42 persen dari luas kebun sawit di Indonesia adalah dikelola petani, baik itu sebagai petani mandiri maupun sebagai petani plasma (bermitra). Sudah cukup banyak tuduhan yang tendensius menyudutkan tanaman yang memberikan kami hidup dan membiayai negara ini,” ungkapnya.

Dalam pandangan Gulat, tindakan Pepsico dan Campina bagian dari persaingan bisnis. Sedangkan di sisi lain, ada juga yang memanfaatkan untuk dijadikan proposal.

Kenapa dikatakan persaingan bisnis karena dampak negatif terhadap lingkungan dari komoditas sunflower, rapeseed dan soybean lebih dahsyat dan itu sudah dibuat dalam laporan penelitian ilmiah internasional.

“Sederhana saja, sawit itu tanaman tahunan dan soya rapeseed sunflowee tanaman musiman. Dari dua jenis tanaman ini tidak cukup seribu lembar halaman membahas betapa lebih berkelanjutannya sawit,” tegas Gulat.

Tapi mengapa kelemahan soya, rapeseed dan sunflower tidak pernah diserang? Jawabannya karena yang semangat membiayai serangan dari Eropa sebagai produsen komoditas tersebut.

“Harusnya Walhi dan Uli Artha memikirkan dan menolong petani sawit untuk mendapatkan harga TBS yang wajar dan setara. Mereka juga sebaiknya memikirkan bagaimana menolong petani sawit yang terjebak dalam kawasan hutan. Termasuk memikirkan bagaimana petani bisa hijrah menjadi petani hilir, ” jelasnya.

“Kami memang tidak punya uang untuk membayar proses pertolongan tersebut, tapi kami punya masa depan dengan pertolongan tersebut,” pungkasnya.

Share.
Exit mobile version