PONTIANAK, SAWIT INDONESIA – Hampir tiga bulan lagi tahun 2023 akan berakhir, program sawit untuk petani masih berjalan datar tanpa ada peningkatan signifikan khususnya Peremajaan Sawit Rakyat dan Sarana Prasarana. Realisasinya dapat dilihat dari data yang disajikan Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) dalam berbagai forum.
“Program terkait petani sawit tidak berjalan optimum bahkan cenderung minim, seperti PSR dan sarpras. Penyebab utamanya adalah regulasi yang mengatur program tersebut jauh dari jangkauan petani sawit,” ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), Dr. Gulat Manurung, MP.,C.IMA.,C.APO saat memberikan kuliah umum “Sawit Pemersatu Bangsa” di hadapan mahasiswa Fakultas Pertanian yang juga penerima beasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Barat.
Selain itu, ada banyak tekanan dari aparat penegak hukum terhadap dana sawit yang dikelola oleh BPDPKS dan Kementan RI. Diakui Gulat, tindakan hukum ini mempengaruhi pejabat kementerian dan lembaga terkait untuk mendorong program sawit bagi petani.
“Faktanya kami melihat setahun terakhir kementerian dan lembaga yang mengurusi dana sawit ini ogah-ogahan (loyo) karena beratnya beban mental yang harus dihadapi pejabat terkait akibat tekanan pemeriksaan aparat penegak hukum. Memang itu tanggungjawab jabatan, namun faktanya semakin menurun semangat pejabat terkait,” kata Gulat.
Menurut Gulat, petani juga terkena beban potongan ekspor sawit sebesar Rp 255 per kilogram TBS sawit. “Kalau memang dana tersebut disalahgunakan maka dengan hormat silahkan dipidanakan,” tegas Gulat. Tapi kalau hanya masalah administrasi sebaiknya diserahkan ke inspektorat tiap kementerian.
“Sekali lagi kami sepakat jika disalahgunakan dapat dibawa ke ranah hukum. Tapi tolonglah lihat kami petani sawit yang membutuhkan dana sawit BPDPKS tersebut,” harap Gulat.
Dijelaskan Gulat bahwa, pelaku usaha kelapa sawit khususnya petani menghadapi persoalan di sisi hulu yaitu kepastian hukum hulu-hilir sawit dimana sering terjadi perubahan regulasi dan atau regulasi yang tidak sinkron dengan kekinian ekonomi sawit. Kedua, kawasan hutan yang “cawe-cawe” di perkebunan sawit, harga tandan buah segar (TBS) sawit yang tidak stabil karena absennya transparansi dan akuntabilitas harga di pabrik sawit serta dasar hukum penetapan harga yang sudah tidak relevan, yakni Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1 tahun 2018.
Permasalahan berikutnya adalah sumber daya manusia (SDM) petani sawit. Selanjutnya semua orang tahu dana sawit BPDPKS bukan APBN tapi berasal dari levy yang juga dibebankan kepada petani sawit.
Terkhusus di Kalimantan Barat, kata Gulat, harga TBS sawit yang tidak stabil karena penetapan harga yang ditetapkan oleh Dinas Perkebunan tidak diimplementasikan oleh pabrik sawit.”Namun saya tidak menampik bahwa ada beberapa pabrik yang justru membeli TBS petani di atas harga Disbun Kalbar,” lanjutnya.
“Banyak ditemukan pabrik sawit semena-mena dalam menetapkan harga TBS petani, terkhusus kepada saudara-saudara kami petani swadaya. Jauh di bawah penetapan Disbun namun di saat bersamaan banyak pabrik juga membeli TBS petani dengan harga melampui harga Disbun Kalbar. Ini menandakan ada yang salah dalam tata cara penetapan harga TBS di Disbun itu sendiri,” papar Gulat.
Menurutnya, memang diperlukan pengawasan dari APH (aparat penegak hukum) untuk mengawasi implementasi harga di lapangan. Apalagi pabrik dan kebun sawit itu ada di kabupaten sehingga diperlukan kerjasama antara Bupati, Kejaksaan Negeri, dan Kepolisian Resor untuk mengawasi kepatuhan hukum terkait penetapan harga beli TBS petani.
“Perihal ini kami mengapresiasi Kajati Riau, Dr. Supardi, SH.,MH, yang melaksanakan pengawasan PKS sampai ke Kabupaten Kota melalui Program Jaga Zapin dan hasilnya cukup mencengangkan,” pungkas Gulat.