Jakarta, SAWIT INDONESIA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) menyambut baik program mandatori biodiesel campuran 40 persen (B40). Namun, APKASINDO memproyeksikan Indonesia akan berhenti di B50 karena ada tiga ganjalannya dan jika tidak ada upaya peningkatan produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di sektor hulu.
Ketua Umum DPP APKASINDO Dr. Gulat ME Manurung, MP.,C.APO.,C.IMA menjelaskan ketersediaan CPO untuk B40 masih cukup. Namun ketika di naikkan ke B50 maka semua produk CPO Indonesia (2023, misalnya 48 juta ton) akan habis untuk kebutuhan domestik seperti Pangan, Oleokimia, medis dan Biodisel B50 tadi, itupun dengan asumsi bahwa kebutuhan sektor pangan domestik tidak naik.
“Kalau kita maju terus dari B40 kita akan stop pada B50. Karena akan deficit 1,24 juta ton CPO jika patokan kita ke volume CPO tujuan ekspor tahun 2023 lalu sebesar 2,04 juta ton (outlook GAPKI, 2023), sehingga jika B50 akan engga ada lagi ekspor CPO kita. Dan akan semakin berkurang ekspor Indonesia kedepannya dalam bentuk refining product, biodiesel, palm kernel, karena program Biodisel Indonesia dalam bentuk mandatory, artinya semua stakeholder sawit wajib dukung. Kalau engga ekspor kita engga ada devisa negara. Ini berbahaya. Kalau ini terjadi, sudah kami diskusikan dengan berbagai pakar dan kita simulasikan, kebutuhan sekian juta ton untuk B50 kita akan minus,” ujar Gulat dalam diskusi yang diselenggarakan di sela-sela event Gaikindo Commercial VEHICLE EXPO 2024 yang juga bekerjasama dengan Majalah Sawit Indonesia bertajuk “Rencana Penerapan B40: Manfaat dan Tantangan” di Jakarta Convention Center, Jumat (8/3/2024).
Gulat mengungkapkan program B35 menyerap 13,15 juta kiloliter CPO. Ke depannya, kata dia, kebutuhan CPO untuk dalam negeri dan dunia pasti akan terus bertambah. Namun, di saat bersamaan, produksi sawit nasional semakin menurun akibat tanaman tua, kebun sawit rakyat tidak produktif dan terganggunya target PSR oleh beban regulasi yang negatif terhadap target.
Jadi wajar saja Bill Gates mengambil posisi Indonesia yang sedang terlena ini melalui minyak nabati rekayasa teknologi yang mirip dengan minyak nabati sawit, yang disebut dengan nama C-16. Meskipun C16 hanya menyerupai tapi patut menjadi ancaman bagi Indonesia sebagai produsen CPO tersebesar yang sedang terlena.
Hal ini semakin diperparah dengan ancaman Pasal 110B turunan UUCK yang tertuang dalam PP 24 tahun 2021 sebagaimana disampaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Permen LHK Nomor 7 Tahun 2021 dan aturan LHK Lainnya.
Menurut aturan tersebut tidak memberikan kesempatan replanting (hanya 1 daur) yang terkena pasal 110-B yang potensi luasnya menurut perhitungan kami dari sumber data SK Datin KLHK (1-14) seluas 2,8juta ha dari 3,4 juta ha yang diklim KLHK dalam kawasan hutan tidak berhutan.
“Dan akibat kehilangan 2,8 jt ha ini, maka 5-10 tahun ke depan Indonesia akan kehilangan 12,062 juta ton CPO per tahun dan Rp131 Triliun per tahun, belum lagi dampak sosial, ekonomi, kamtibmas, sebagai akibat Pasal 110B tadi,” jelas Gulat.
Jikapun yang terkenan Pasal 110-B tersebut dipaksakan, emang dari mana uang negara untuk menghutankannya kembali 2,8 juta hektar ?, yang saat ini sudah ikrah saja masih belum ada yang dihutankan kembali sesuai putusan hakim, padahal sudah puluhan tahun lalu diptuskan pengadilan, ujar Gulat yang juga Ketua Bravo-5 relawan Jokowi.
Untuk itu, Gulat berharap agar pemerintah melalui kementerian terkait untuk segera berbenah mempermudah petani sawit, terkhusus petani swadaya yang luasnya mencapai 93% dari total luas perkebunan rakyat 6,87 juta hektar untuk ikut program peremajaan sawit rakyat (PSR). Sebab, kata dia, produktivitas sawit Indonesia rendah dominannya diakibatkan rendahnya produktivitas kebun sawit rakyat yang masih 25-30% dari potensinya.
“Tanaman sebelum PSR itu, produktivitas CPO nya hanya 1,8-3 ton per hektar per tahun. Tapi setelah PSR menurut data petani yang sudah berhasil PSR akan mencapai 8-9 ton per ha per tahun. Kalau ini kita simulasikan dimana 75% saja kebun sawit rakyat ikut PSR, akan ketemulah produksi petani 60 juta ton/tahun. kalau digabung dengan produksi CPO perusahaan sudah diatas 100 juta ton,” jelasnya.
“Kalau Pak Menko Luhut menargetkan produktivitas sawit 100 juta ton pada 2045, saya bilang tidak perlu menunggu 2045 (21 tahun lagi), selama 10 tahun ke depan kami petani sawit bisa capai target Pak Luhut tersebut, asal petani bisa PSR dengan segala kemudahan dan pertolongan regulasi,” lanjut Gulat dengan nada hormat.
Saat ini ada 37 Kementerian dan Lembaga yang ikut campur dan masing-masing ambil peran dalam sektor hulu-hilir sawit, sehingga semua menjadi ruwet, ribet dan stagnan. “Dengan kondisi memprihatinkan ini, kami sudah melihat terang resolusinya secara terstruktur dan terukur, tinggal menunggu di uji saja secara ilmiah di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia dalam waktu dekat, papar Gulat.
Ada tiga ganjalannya mengapa kita harus berhenti di B50, pertama adalah produktivitas sawit semakin menurun karena Program PSR tergolong gagal target, kedua regulasi yang justru mengurangi produksi CPO nasional, ketiga adalah banyaknya K/L yang mengurusi sawit yang berdampak negatif. Semoga dengan ditemukannya model resolusi sawit Indonesia oleh Program Doktor Ilmu Hukum UI, bisa memperbaiki tatakelola sawit Indonesia kedepannya,” pungkas Gulat diakhir presentasinya.