JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Petani sawit merugi Rp55-60 Triliun tiap tahun akibat kampanye negative sawit yang judulnya tiap dua tahun berganti topik. Setelah gagal dengan minyak sawit penyebab kanker, lalu berganti masalah membunuh hewan di hutan, lalu berganti menjadi mempekerjakan anak dibawah umur dan anti gender, lalu berubah ini itu, lalu yang dua tahun terakhir tentang EUDR dan anti biodiesel sawit.
“Kerugian kami petani sawit akibat kampanye negative sawit ini paling tidak Rp500-750/kg TBS (terdampak) dan menurut hitungan saya tiap tahun kerugian kami petani bisa mencapai Rp55 triliun-60 Triliun,” ujar Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Dr. Gulat ME Manurung, C.IMA.
Gulat mengatakan isu tersebut sengaja terus didengungkan oleh organisasi atau yayasan yang didanai donor asing untuk menghantam sawit Indonesia. Dirinya tidak mempermasalahkan LSM atau NGO melakukan itu tapi janganlah mengorbankan kami petani sawit dan menjual marwah bangsa ini dan ini nampaknya hanya terjadi di negara demokrasi Indonesia dimana sebegitu bebasnya dana asing masuk ke Indonesia untuk mendanai menjelek-jelekkan sawit yang merupakan lokomotif ekonomi Indonesia.
“Tidak heran sampai perancangan regulasi tentang sawit juga dibiayai oleh dana asing seperti perencanaan Draft Perpres ISPO tahun 2020 lalu dan bukan rahasia lagi salah satu Yayasan yang cukup kuat andilnya merancang Perpres ISPO didanai oleh asing hingga puluhan miliar. Perihal ini kami akan laporkan ke Direktorat Ekonomi dan Keuangan JAM Intel Kejagung karena sudah merugikan negara dan merusak perekonomian petani sawit,” kata Gulat.
“Coba kita lihat sejarah tudingan terkait deforestasi. Modalnya muter-muter situ saja. Coba lihat fakta sesungguhnya. Menurut Oil World produktivitas sawit lebih tinggi dibanding minyak nabati lainnya yakni 4,27 ton CPO per hektar per tahun. Tanaman [minyak nabati cs] lainnya cuma nol koma dan ini artinya apa? Yaitu bahwa sawit lebih efisien menggunakan sumberdaya alam,” ungkap Gulat dalam diskusi virtual Indef: “CPO: Resetting Indonesia-EU Relations”, Kamis (14/12/2023).
Gulat menuturkan bahwa kajian komisi Eropa pada 2013 dari total 239 juta hektar lahan yang mengalami deforestasi, 58 juta hektar akibat sektor peternakan, 13 juta hektar akibat pembukaan lahan kedelai, dan 8 juta hektar akibat karena pembukaan untuk jagung. Sementara untuk sawit hanya 6 juta hektar. Dengan kata lain pembukaan sawit dunia hanya berkontribusi tidak lebih 2,5 persen terhadap deforestasi global.
“Ternyata laju deforestasi oleh sawit sangat kecil sekali. Mengutip Penelitian Roda (2019) deforestasi sawit 0,2-0,8 persen saja” ujar Gulat yang merupakan Doktor Ilmu Lingkungan.
“Jadi kecil sekali, tapi Justru sawit jadi kambing hitam. Tahun 2018 menurut European Commision deforestasi itu lebih banyak di Amerika untuk peternakan sapi sebanyak 58 juta hektar, 41 juta hektar kebakaran di Amerika, kebun kedelai 13,4 juta hektar, sawit 5,5 juta. Itu adalah data yang bisa diakses siapapun tapi sawit lagi-sawit lagi. Andai sawit bisa tumbuh di UE, maka akan lain ceritanya,” tegas Gulat.
“Kami hanya terbentur klaim masuk dalam kawasan hutan. Ini saya teliti 2010-2021 kebetulan disertasi saya tentang Perkebunan sawit petani dalam kawasan hutan ditinjau dalam UU Cipta kerja. Ternyata kebun petani hanya terbentur dalam tata kelola kehutanan atau kawasan hutan dan 98,8% sawit petani yang diklaim dalam Kawasan hutan itu berada di Kawasan hutan konversi dan produksi. Jadi tidak benar kami merambah hutan tapi yang benar adalah kami memanfaatkan sumberdaya alam (hutan) yang terdegredasi atau terlantar akibat ditelantarkan oleh pemilik izin sebelumnya. Ini bukan rahasia lagi bahwa pada rezim Kementerian Kehutanan dulu sangat mudah menerbitkan izin-izin pemanfaatan hutan dan tidak pernah tertata dengan baik izin-izin tersebut,” ujarnya.
Gulat menjelaskan pemanfaatan kawasan hutan yang terdegradasi tadi adalah untuk kebutuhan hidup masa depan rumah tangga kami, sekolah anak, biaya kesehatan dan lain-lain karena kami tidak mau jadi beban negara ini.
”Lihat saja kebun-kebun petani sawit dipasangi patok-patok Kawasan hutan oleh kementerian terkait, bahkan ada sampai tengah malam masangnya, pakai senter supaya tidak diketahui oleh masyarakat. Ini jelas melanggar UU Kehutan Nomor 41 tahun 2019 yang mengatur mengenai penyelenggaraan kehutanan untuk kemakmuran rakyat, yang berkeadilan dan berkelanjutan ” ujar Gulat.
“Kami petani sawit dikejar-kejar seperti kami ini bukan WNI ?. Hak kami dijamin oleh UUD 1945 Pasal 33 dan itu disusun pendiri negara ini dengan sangat cermat dan terukur sepanjang masa,” urainya.
Kemudian, menurut Gulat, tutupan hutan Indonesia juga jauh lebih besar dibanding negar lain. 91 juta hektar atau 53 persen dari daratan Indonesia. Perancis hanya 31 persen, Amerika 33,8 persen, Inggris 13 persen tapi mengapa hanya sibuk menyerang Indonesia negara-negara UE ?.
“Masih saja kita tidak percaya diri (PD) menghadapi mereka ?. Dikatakan kita merambah hutan, hutan mana? Saya dapat data saat FGD di Pusat Studi Sawit IPB, ternyata menurut Prof Dr Yanto Santosa, Dosen Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan, bahwa sawit itu 91,25 persen di areal APL dan Areal peruntukan Perkebunan, sisanya di HP dan hanya 0,1 persen di kawasan lindung/konservasi,” pungkasnya.
Penulis: Indra Gunawan