JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Rencana pemerintah memperluas mandatori biodiesel campuran 30% atau B30 mendapatkan dukungan berbagai pihak termasuk petani. Program ini sangat efektif menjaga keseimbangan stok sawit di dalam negeri begitupula harga. Namun, B30 bisa dikatakan berhasil dengan syarat perbaiki tata niaga TBS terutama Permentan Nomor 01/2018. Dengan begitu, tidak ada lagi kritikan bahwa B30 hanya menguntungkan segelintir grup besar perusahaan sawit.
“Program (B30) merupakan kebijakan strategis nasional untuk meningkatkan serapan produksi minyak sawit di dalam negeri dan tentu saja menjaga harga CPO agar ekonomis. Tidak bisa kita pungkiri bahwa dengan luasnya perkebunan sawit di 22 Provinsi seluruh Indonesia, maka produksi CPO melimpah. Oleh karena itu, kami mendukung kelanjutan program bagi ketahanan energi nasional ini. Apalagi di 22 Provinsi tersebut APKASINDO hadir melalui DPW (Red-Dewan Pimpinan Wilayah),” ujar Rino Afrino, ST.,MM, Sekjen DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) dalam perbincangan melalui telepon, Sabtu (12 September 2020).
Lebih lanjut Rino menguraikan bahwa program biodiesel ini perlu mendapat dukungan semua pihak karena memberikan nilai tambah bagi perekonomian dan menekan impor BBM. Itu sebabnya, pemerintah sangat berkepentingan atas keberlanjutan Biodiesel dari B30 sampai B100. Dalam perdagangan internasional disebutkan bahwa saat ini selisih harga CPO dan minyak bumi semakin melebar, hal ini berdampak kepada pemberian insentif B30 saat ini. Itu sebabnya, muncul semangat nasionalis mempertahankan program ini melalui berbagai skema mulai dari kenaikan pungutan ekspor dan menambah insentif dari APBN.
“Bagi petani, persoalan pungutan ekspor dan B30 ini harus menguntungkan semua pihak. Dari konteks petani, kami ingin mendapatkan harga TBS yang wajar dan berkeadilan. Kuncinya adalah wajib diperbaiki tata niaga TBS di tingkat petani, tanpa ini muncul berbagai persoalan,” imbuh Rino.
Menurutnya, dengan harga CPO rerata US$ 600 per ton maka harga TBS petani seharusnya Rp 1.500-Rp 1700 per kilogram. “Harga inilah yang seharusnya dapat dinikmati petani di seluruh Indonesia. Faktanya di lapangan, petani tidak memperoleh harga tersebut. Jauh dibawah harga tersebut. Apalagi yang sekarang CPO rerata mendekati US$ 700, harga TBS seharusnya Rp 1800-Rp 2200/kg.
“Berdasarkan konsolidasi petani APKASINDO di 22 Provinsi dan 118 Kabupaten, fakta lapangan selalu menjadi keluhan utama yaitu rendahnya harga TBS. Yang terjadi , petani Sawit di Indonesia bagian Timur selisih harga lebih rendah sampai 40% dibandingkan harga di Indonesia bagian Barat,” tambah Rino.
Merujuk fakta tersebut, sebaiknya pemerintah mengkaji benar rencana kenaikan pungutan ekspor tersebut. Dikatakan Rino, harga TBS petani dapat terbebani Rp 90-105/Kg sebagai imbas kenaikan pungutan ekspor. “Kalau tata niaga TBS petani belum juga diperbaiki semua akan sia-sia. Terlebih, petani semakin terbebani dan dihantui Perpres ISPO yang memaksa wajib bersertifikat ISPO, tanpa sertifikat TBS Petani tidak dibeli pabrik sawit. Ini semua berpeluang menekan Harga TBS Petani. Jadi, (petani) tiga kali terkena dampaknya,” papar auditor ISPO ini.
Konsep sharing the pain sebaiknya harus memperkuat semua pihak. Intinya adalah memperkuat yang lemah dan menjaga yang telah kuat. Rino mengakui di kala pandemi kita semua berbagi “sakit” tetapi perlu menjaga kekuatan diantara tiga pemangku kepentingan: petani, pengusaha, dan pemerintah. “Ketiganya jangan saling merugikan. Maka,kami ingin tata niaga TBS diperbaiki sesegera mungkin melalui revisi Permentan 01/2018 tentang tata niaga TBS. Barulah bisa kenaikan pungutan di atas harga CPO US$ 600/ton menjadi solusi atas kelanjutan program B30,” kata Rino.
Dengan memperbaiki tata niaga TBS, menurut Rino, keadilan harga TBS dapat dinikmati petani. Alhasil, harga CPO sebesar US$ 600/ton akan berdampak positif bagi harga TBS petani. “Kami juga tidak ingin harga TBS petani diperlakukan tidak adil oleh pabrik. Banyak potongan harga yang dibebankan pabrik kepada petani dan juga potongan timbangan TBS Petani mencapai 12%. Beban-beban biaya yang tidak jelas dan ditimpakan kepada petani, Harus diingat, petani sawit sudah naik kelas dan setara. Kami tidak mau dibodohi lagi,” tegas Rino.