JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Berbagai isu telah sengaja dikemas oleh berbagai pihak yang mempunyai kepentingan menikmati susana anjloknya harga TBS Petani. Sejak 22 April 2022, harga TBS Petani sangat berfluaktif dan cenderung turun sampai 75%. Faktor ketidakpastian yang diduga penyebabnya terjadi dari 22-27 April, ternyata terbantahkan setelah Pak Jokowi menegaskan bahwa CPO termasuk yang dilarang pada 28 April malam.
“Larangan ekspor tidak merugikan sama sekali pabrik sawit, refineri, dan eksportir hanya menunda untung besar saja. Tetapi, petani sawit yang menanggung kerugiannya,” ujar Ketua Umum DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), Dr. Gulat ME Manurung, CIMA, ketika dihubungi seusai rapat dengan Kemenko Perekonomian, DMSI, GAPKI dan Kemenkeu.
Gulat menghitung kerugian petani selama 19 hari sejak pelarangan ekspor sudah mencapai Rp.14,478 Triliun. Kerugian ini telah dihitung berdasarkan selisih harga normal dengan harga turbulensi saat ini sebesar Rp.1.550/Kg berdasarkan data Posko Aduan TBS APKASINDO .
“Jika minggu ini dicabut larangan ekspor maka kerugian kami akan tagih ke negara ini, biar negara yang menagih ke pabrik dan refineri atau mungkin melalui BPDPKS,” tegas Gulat.
Menurutnya, harga TBS dibeli dengan harga turbulensi, CPO dan turunannya dijual dengan harga normal saat larangan ekspor dicabut Presiden, wajar kami menuntut hak.
“Jadi tidak masalah jika makin lama dicabut larangan ekspor makin bagus. Anggap saja kami sedang menabung dan tukang tagihnya Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, ungkap Gulat.
Dikatakan Gulat, pengembalian kerugian kami, ini dapat juga dilakukan melalui pupuk gratis (bukan subsidi) kepada petani sawit dan tidak menerima jika ganti-rugi ini diambil dari dana pungutan ekspor yang dikelola BPDPKS. Sebab BPDPKS tidak ada hubungannya dengan turbulensi ini.
“Perlu saya tekankan bahwa kerugian ini adalah “dua hal yang berbeda” dengan kelangkaan MGS (minyak goreng sawit). Sudah berulangkali saya sampaikan bahwa MGS terkhusus curah tidak langka. Karena minyak goreng ada di pabrik masalahnya adalah di distributor dan rumitnya birokrasi, ” ujar Doktor Lulusan Universitas Riau ini.
Dalam hal ini, peliknya kendala distributor ini merupakan tupoksi Kemeterian Perdagangan. Dan situasi ini justru diambil kesempatan oleh semua industri Hilir dengan membangun suasana menyeramkan bahwa CPO segera busuk, tangki penuh, tidak boleh eksport dan lain-lain.
“Jika mengikuti data hasil investigasi kami, rerata tangki penuh di disain paling tidak 60 hari, selanjutnya refinery bisa sampai 1 tahun daya tampungnya. Jika menghitung 19 hari masa turbulensi ini, seharusnya para PKS dan Refinery tidak langsung lock-down petani dengan penurunan harga sampai 70% dari harga Dinas Perkebunan. Ya benar, sebab mereka masih punya waktu 40 hari lagi untuk PKS dan 340 hari lagi untuk refinery, baru lock down,” jelasnya.
Gulat menuturkan kerugian sebesar Rp14,478 triliun harus ditagih ke negara, kami sudah sepakat 22 Provinsi ke Istana Negara dan Kemenko Ekonomi untuk Demo dalam waktu dekat.
“Semua saya minta Ketua-Ketua DPW berpakaian Adat masing-masing cukup hanya Ketua-ketua saja, biar jangan disusupin pihak lain,”ujar Gulat.
Selain itu, 146 DPD APKASINDO Kabupaten/Kota diminta untuk mengantar Brondolan TBS ke kantor Bupati dan Walikota untuk menumpang diolahkan menjadi MGS Curah. Masing-masing DPD adalah 100 ton.
“Jika 100 ton Brondolan, itu sudah menghasilkan MGS curah paling tidak 25.000 Liter dikali 146 sama dengan 3,6 juta Liter MGS curah dan kami akan sumbangkan ke Menteri Perdagangan dan biayanya kami tagihkan ke BPDPKS dengan pola subsidi 100%” jelas Gulat.
“Kami sudah siaga satu untuk persoalan ini, dan kami tidak dalam posisi mengancam siapa pun, tapi menuntut hak kami sebagai warga negara Indonesia dan itu dijamin oleh UUD 1945. Tentu saja kami akan meminta arahan Jenderal Moeldoko, Ketua Dewan Pembina DPP APKASINDO”, tutup Gulat.