JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemerintah diminta memberikan relaksasi kepada sektor industri sawit di tengah pandemi sekarang ini. Relaksasi ini berupa penundaan bea keluar (BK) sawit dan produk turunannya. Usulan ini disampaikan DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) melalui surat resmi kepada Presiden Joko Widodo yang dikirimkan 30 November 2020.
Pajak ekspor yang diberlakukan untuk minyak sawit Indonesia terdiri atas dua instrumen, yakni Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE). Tujuan pemberlakuan pajak ekspor adalah untuk meningkatkan ketersediaan minyak sawit yang dapat digunakan oleh industri hilir serta sebagai strategi untuk mengontrol stok minyak sawit di pasar global sehingga harga lebih terjaga.
BK merupakan penerimaan negara (pajak) yang masuk ke dalam kas negara dan menjadi salah satu sumber APBN. Menurut PMK, BK akan diberlakukan saat satu ton minyak sawit diekspor dengan harga yang telah melewati threshold sebesar US$ 750/MT dengan besaran tarif yang bersifat eskalatif dan progresif seiring dengan terjadinya peningkatan harga di pasar global. Sementara itu, Pungutan Ekspor CPO dan turunannya merupakan bentuk penghimpunan dana dari pelaku usaha perkebunan sawit dengan besaran tarif yang sifatnya spesifik yang dikelola oleh BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit).
Banyak orang salah mengerti tentang pungutan ekspor (tarif pungutan dana atas eskportir CPO dan produk turunannya) dan Bea Keluar. Kalau pungutan ekspor itu dikelola oleh BPDPKS dan digunakan khusus untuk sawit. Jadi, dari sawit untuk sawit yang efeknya global.
“Ya sebenarnya dengan didirikannya BPDPKS yang mengelola dana pungutan ekspor CPO dan turunannya, tidak perlu lagi bea keluar. Logikanya disitu”, ujar Ir Gulat ME Manurung, MP.,C.APO, Ketua Umum DPP APKASINDO.
Dalam surat yang ditandatangani Ir. Gulat ME Manurung, MP, CAPO (Ketua Umum DPP APKASINDO) dan Rino Afrino, ST,MM (Sekjen DPP APKASINDO) n kepada Presiden Jokowi disampaikan kekhawatiran APKASINDO mengenai penerapan bea keluar dan pungutan ekspor yang secara bersamaan juga dilakukan karena dapat menekan harga TBS petani. Selain itu juga disampaikan perihal optimalisasi dana pungutan ekspor untuk keperluan petani sawit.
Dari informasi yang diperoleh DPP APKASINDO bahwa dalam Rapat Komite Pengarah BPDPKS terakhir, menghendaki pungutan ekspor dengan harga CPO CIF US$ 645/ton dipungut US$ 55/ton dan setiap kenaikan harga USD 25 per Ton dikenakan pungutan tambahan US$ 15/ton.
“Saat ini petani sedang menikmati harga TBS yang bagus dikarenakan keberhasilan program Mandatori B30, dan hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebentar lagi akan ke B40, pembiayaan biodiesel ini berasal dari pungutan ekspor (yang dikelola oleh BPDPKS).. Jadi ada take and give-nya. Ibaratnya, faktor take lebih banyak kami rasakan sebagai petani” ujar kandidat Doktor Lingkungan ini.
Gulat menegaskan posisi Apkasindo apabila pemerintah menaikkan pungutan ekspor (dana yang dikelola oleh BPDPKS), petani sawit berharap dari pungutan ekspor tersebut dikembalikan ke petani sawit secara progresif juga. Dalam bentuk biaya replanting, biaya pemupukan kebun eksisting, biaya jalan kebun, pelatihan, peningkatan SDM, sertifikasi ISPO, pembangunan PKS Mini dan pembinaan kelembagaan Petani sebagaimana amanah UU perkebunan.
Dalam hal ini kami juga berharap Kementerian Pertanian lebih menunjukkan sebagai “Kapten” dalam mengurusi Perkelapasawitan ini, sebagai contoh serapan dana BPDPKS ini masih jauh dari harapan terkhusus untuk petani, seperti dana Sarpras yang masih nol persen serapannya sejak berdirinya BPDPKS ini tahun 2015 dan PSR yang masih tersangkut dengan tanah pengusul status Kawasan hutan.
“Jika sejak 2015, anggaran sarana prasarana sebesar Rp 250 miliar direalisasikan, mungkin untuk sarpras, dari Sabang sampai Merauke sudah berdiri paling tidak 20 pabrik sawit petani, yang per hari ini masih nol PKS Petani. Padahal 41% Perkebunan sawit itu dikelola oleh petani Sawit,” ujar Gulat yang membawahi 134 DPD Kabupaten Kota dari 22 Provinsi DPW APKASINDO.
Terkait menjaga stabilitas harga CPO, juga disampaikan dalam surat tersebut, dengan konsep gotong royong. “Semua pihak harus saling bahu membahu antara pemerintah, pelaku usaha dan petani untuk berperan dalam menjaga stabilisasi harga CPO, tidak cukup hanya kami petani sebagai penyuplai 41% TBS nasional. Pengusaha juga harus mau berkurang sedikit untungnya dan pemerintah harus memelototin tataniaga TBS, ini baru gotong royong namanya. Gotong royong itu tidak semata berbicara untung tapi juga gotong royong menanggung beban berkurangnya keuntungan,” ujarnya.
Ancamannya pada hari ini adalah jjika pungutan ekspor tidak disesuaikan dengan kenaikan harga CPO maka program B30 akan mandeg. Dampaknya, stok CPO dalam negeri melimpah, tanki penampungan CPO penuh, dan TBS Petani tidak ada yang beli.
“Maka tapak akibatnya adalah harga TBS akan anjlok, semua akan rugi tidak ada yang untung. Semua kita tanpa kecuali harus berpikir jernih, sawitlah salah satu harapan negara saat ini untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional. Jika B30 mandek, maka 9,5 juta Ton CPO serapan B30 mau dituangkan kemana?,” tanya Gulat.
Stabilitas harga CPO dan TBS tidak hanya berdampak kepada 21 juta orang Ring 1, Ring 2 dan Ring industri sawit tetapi sangat berpengaruh kepada menyeluruh.
“Kami telah mengusulkan kepada pemerintah supaya BK sawit sementara dinolkan atau ditunda terlebih dahulu, agar tidak menjadi beban tambahan atau dua kali kena, yang menyebabkan harga TBS tingkat petani semakin tertekan. Cukup pungutan ekspor saja yang dijalankan,” paparnya.
Tujuannya lainnya adalah mengunci harga TBS Petani di level minimum Rp 2.100/Kg. Gulat menjelaskan bahwa dengan pemberlakuan BK dikhawatirkan harga TBS akan signifikan berkurang. Karena dalam struktur penetapan harga TBS petani ditetapkan setiap minggu, BK dan pungutan ekspor itu masuk dalam biaya pengurang harga TBS yang diterima petani (istilah umumnya biaya produksi).
“Kalau untuk pungutan ekspor kami petani mendukung, karena memang berkat pungutan ekspor inilah harga TBS Petani terjaga melalui biodiesel, itu faktanya.