Presiden Joko Widodo membuka ekspor sejak 23 Mei 2022. Tapi faktanya, ekspor tidak jalan. Karena beban berlebihan sehingga tidak logis dikerjakan oleh eksportir dan petani hulunya.
Lalu pendapatan negara pajak, bukan pajak dan devisa jatuh total. Harga TBS di petani dari Rp 3.800/kg jadi Rp 800/kg. Petani rugi massal karena biaya produksi Rp 1.800/kg.
Pernahkah DPR RI bertanya ke Pemerintah, pantaskah para petani kecil dibebani pajak dan pungutannya hingga 55% ( Rp 11.000/kg : Rp 20.000/kg x 100%) dari harga CPO global dan apakah Pemerintah tidak malu ?
Harga CPO global USD 1,38 (Rp 20.000)/kg. Jika mau ekspor kena pungutan ekspor (BPDPKS) USD 200/kg, pajak ekspor USD 288/kg dan flush out USD 200/kg. Total pajak pingutan USD 688/kg (Rp 11.000/kg). Setara 55% dari harga CPO global.
Tentu sisanya hanya Rp 9.000/kg (Rp 20.000 – Rp 11.000). Jika harga CPO Rp 9.000/kg jika rendemen CPO dari TBS 20% maka setara Rp 1.800/kg TBS. Ditambah biaya lain – lain ” dampak di lapangan ” hanya Rp 1.100/kg TBS petani.
Karena harga jual di bawah biaya produksi maka petani tidak mau panen sawitnya. Karena beban eksportir terlalu banyak hingga 55% dari harga CPO, maka pengusaha tidak mau ekspor. Dampaknya stok CPO nasional utuh penuh.
Sawit wajib dipanen tiap 15 hari, jika dipanen tangki CPO makin penuh. Jika tangki timbun CPO sudah penuh pabrik (PKS) ditutup. Karena PKS tutup, petani tidak punya pasar. Tidak punya pendapatan. Pengeluaran tetap jalan maka petani miskin bangkrut massal.
Solusinya, harga petani yang sudah berbuat untuk bangsa. Pungutan dan pajak ” sepantasnya “. Agar harga CPO Rp 16.000/kg. Agar harga TBS Rp 3.000/kg. Agar petani ada laba lalu sejahtera. Sekalipun harga di Malaysia Rp 5.000/kg saat ini.
Salam,
Wayan Supadno
Pak Tani