Akhir Februari lalu, menjadi pengalaman yang menarik bagi Andriah Feby Misna, Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Sebagai salah satu pemangku kepentingan mewakili pihak pemerintah berjumpa petani sawit se-Indonesia dalam acara Pertemuan Nasional Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO).
Di saat, turunnya harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit. Kehadiran Andriah Feby Misna menjadi angin segar bagi petani kelapa sawit. Dalam kesempatan itu, Andriah memaparkan fakta perkembangan terkini biodiesel dan sektor energi.
Menurut Andriah Feby Misna mandatori biodiesel yang diperluas semenjak September 2018 sangat berkontribusi bagi pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam upaya mendukung ketahanan dan kemandirian energi.
“Yang menjadi prioritas pengembangan energi nasional diantaranya memaksimalkan penggunaan energi terbarukan, meminimalkan penggunaan minyak bumi, mengoptimalkan gas bumi dan energi baru, menggunakan batubara sebagai andalan pasokan energi nasional, memanfaatkan nuklir sebagai pilihan terakhir,” ujar Andriah.
Untuk pengembangan EBT pemerintah menargetkan Bauran Energi Primer pada 2025 sebesar, EBT 23%, gas 22%, minyak bumi 25%, batubara 30%. Sementara, yang sudah terealisasi sejak 2017 lalu, Bauran Energi Primer capaiannya hanya sebesar EBT 7,3%, Gas 21,2%, batubara 30,1%, minyak bumi 41,4% sehingga perlu terus ditingkatkan.
Lebih lanjut, Andriah menjelaskan tujuan program mandatori biodiesel berbasis minyak nabati untuk menghemat devisa negara (mengurangi impor BBM), memperbaiki defisit neraca perdagangan, stabilitas harga Crude Palm Oil (CPO), meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi industri kelapa sawit.
“Meningkatkan kemandirian ketahanan dan kemandirian energi, memenuhi target 23% EBT pada 2025 mendatang sesuai dengan kebijakan energi nasional, memenuhi komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% dari Business as Usual (BAU) pada 2030 dan mengurangi konsumsi dan impor BBM,” tambahnya.
Penerapan mandatori B20 mempunyai dasar hukum antara lain UU No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, Peraturan Presiden No 66 tahun 2018 perubahan kedua Perpres No 61 tahun 2015 tentang penghimpunan dan penggunaan dana perkebunan kelapa sawit, PP No 24 tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan UU No 30 tahun 2007 tentang Energi, PP no 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
“Pada 2019 juga terjadi kenaikan konsumsi domestik melalui perluasan B20 untuk sektor non PSO sebesar 3,75 juta kl atau meningkat 46% dibandingkan 2017,” kata Andriah.
Selanjutnya, Andriah menyampaikan adanya peluang dan tantangan program pengembangan BBN antara lain Feedstock, potensi konflik antara pemanfaatan bahan baku untuk bioenergi dengan pemenuhan kebutuhan pangan, pakan dan pupuk. Distribusi, sebaran Badan Usaha BBN Biodiesel tidak merata.
Saat ini pabrik biodiesel lebih banyak berada di Indonesia bagian barat. keterbatasan sarana dan prasarana Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM). Ketersediaan kapal pengangkut yang sesuai dengan spesifikasi FAME dan moda double handling dalam pengiriman.
“Penanganan dan penyimpanan, untuk menjaga kualitas BBN diperlukan pengetahuan handling dan storing yang sesuai standar. Insentif, mekanisasi insentif yang sangat bergantung pada pungutan dan pajak keluar CPO dan turunannya,” pungkasnya.
Menanggapi hal tersebut, Andriah menegaskan perlunya Sustainability of Feedstock, untuk mendorong pengembangan sisi hulu sebagai pasokan bahan baku biofuel. Memberikan insentif, pemerintah memperluas pemberian insentif bagi seluruh sektor untuk selisih antara HIP Biodiesel dan BIP Solar, dan akan menutup. Persiapan implementasi B30, pemerintah bekerjasama dengan pihak terkait akan melakukan uji jalan implementasi B30 pada otomotif dan alat berat.