Bercita-cita menjadikan Sumatera Selatan sebagai lumbung sawit berkelanjutan. Berkomitmen tetap menjaga investasi sawit yang telah berjalan di provinsinya.
Dijadikannya industri sawit sebagai kambing hitam atas bencana kebakaran membuat beragam pemerintah daerah ciptakan inisiatif kembangkan industri sawit yang berkelanjutan. Boikot sawit bukan solusi, selain karena indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia, industri sawit juga merupakan industri strategis Indonesia dan memiliki kontribusi besar bagi perekonomian nasional dan daerah.
Salah satu inisiatif ciptakan industri sawit yang berkelanjutan datang dari Provinsi Sumatera Selatan dengan menciptakan South Sumatera Eco-Region Alliance. Aliansi yang dibentuk pada November lalu ini disebut Gubernur Sumsel Alex Noerdin akan melibatkan multistakeholder dari mulai pemerintah pusat, hingga pemerintah kota dan kabupaten serta Industri di Sumatera selatan seperti HTI dan sawit, BPDP Sawit, petani, dan NGO.
Pada pertemuan tahunan Roundtable 13 (RT13) RSPO, di Malaysia (17-19/11) Alex Noerdin memaparkan bahwa aliansi ini dibentuk guna menjadikan Provinsi Sumsel sebagai lumbung sawit yang berkelanjutan. Sedangkan dalam jangka pendeknya sebagai inisiatif Sumsel dalam menanggulangi bencana kebakaran melalui realisasi Gerakan Desa Peduli Api.
“Sebagai persiapan untuk implementasi lumbung sawit, Sumsel melakukan kerjasama dengan IDH Sustainable Initiative untuk pembuatan peta dan rencana aksi untuk tiga lanskap di Sumsel yaitu lanskap gambut, tangkapan air, dan lanskap dataran rendah,” papar Alex di depan peserta RT13 RSPO (19/11).
Pemprov Sumsel sendiri telah membentuk 70 Desa Peduli Api dengan melibatkan masyarakat Sumsel untuk menghalau kebakaran khususnya di lahan gambut. Delapan perusahaan sawit dan 14 perusahaan HTI juga telah berkomitmen untuk terlibat dalam aliansi ini.
“Gambut sangat spesifik dan kebakaran di gambut sangat sulit dipadamkan, kami sudah melewati masa buruk dan masyarakat menderita karena asap, karena itu perlu strategi untuk mengelola kawasan dengan melibatkan semua pihak untuk mengembangkan perlindungan dari kebakaran serta mengurangi titik api dan hotspot pada 2016,” ujar Alex.
Alex menambahkan bahwa Sumatera Selatan merupakan provinsi pertama di Indonesia yang mendeklarasikan model pengelolaan lanskap berkelanjutan dengan kemitraan multistakeholder guna melindungi bentang alamnya, termasuk 220 ribu hektar gambut yang terbakar hingga Oktober 2015 lalu dari total 1,48 juta hektar.
Ada tiga hal kunci menurut Alex yang mampu membuat kesepakatan ini berjalan dengan baik yaitu kebijakan yurisdiksi pemerintah dan kerangka kerja institusional, model lanskap pembangunan berkelanjutan, serta monitoring dan pelaporan.
Alex juga berharap jika nantinya aliansi ini mampu menghasilkan sarana untuk menjembatani berbagai upaya pembangunan berkelanjutan dan mampu direplikasi di daerah-daerah lain di Indonesia.
(Selengkapnya baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Desember 2015-15 Januari 2016)