Sejak akhir 2014 Golden Agri Resources (GAR) membangun sistem kemamputelusuran (traceability) terhadap seluruh pasokan 6 Juta CPO tiap tahunnya dari 489 pabrik kelapa sawit. Pada 2020 ditargetkan seluruh pasokan bisa ditelusuri sampai ke perkebunan pemasok.
Sudah tak melakukan ekspansi atau pembukaan lahan sejak November 2014, membuat Golden Agri Resources fokus pengembangan produksi minyak sawit berkelanjutan. Hingga akhir 2015, 70 persen lahan GAR dengan total seluas 480 ribu hektar telah tersertifikasi RSPO.
Salah satu upaya yang akan dilakukan GAR guna mengembangkan produksi minyak sawit yang berkelanjutan adalah dengan mengembangkan menelusuri rantai pasok GAR hingga ke sumber kebun penghasil TBS yang diolah
Agus Purnomo menjelaskan pengembangan skema kemamputelusuran ini merupakan salah satu inisiatif GAR dalam menjawab tudingan yang kerap diarahkan kepada industri sawit nasional.
“Ini salah satu upaya untuk mengajak para pelaku di sektor ini agar lebih transparan dan berkelanjutan, sehingga kita semua secara bersama-sama bisa menjawab tuduhan-tuduhan bahwa sawit merusak. Ini merupakan upaya counter black campaign,” ungkap Agus.
Selain soal waktu, inisiatif yang digagas oleh GAR disebutkan Agus juga membutuhkan biaya yang banyak. Sementara di sisi lain permintaan terhadap Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) juga tak sebanyak yang diproduksi.
“Dalam jangka panjang kami melihat, ini adalah hal yang harus kita kuasai, semakin kita cepat melakukannya semakin murah biayanya. Kalau kita tunda terus akan selalu lebih mahal. Jadi saat pasar tersebut hadir kita sudah siap, bukan untuk hari ini tapi untuk 10-50 tahun lagi,” jelas Agus.
Upaya kemamputelusuran yang sedang digagas GAR justru menurut Agus akan membantu petani swadaya yang kerap jadi kambing hitam, juga pemerintah untuk secara bersama-sama membangun industri sawit nasional yang berkelanjutan.
Agus yakin tidak semua petani swadaya bermasalah. Kalaupun ada yang bermasalah pihaknya justru akan memfasilitasi. “Yang paling penting kita bukan ingin menjadi polisi, kalau kamu tidak transparan kamu akan dihukum. Tidak seperti itu. Makanya perlu kemamputelusuran kalau mereka belum bisa kita bantu, apa masalahnya,” tambah Agus.
Bagaimana tanggapan soal Moratorium?
Saya sih tidak ada tanggapan, apa yang pemerintah tentukan kami ikut.
Akan berdampak dengan bisnis GAR, kebijakan moratorium ini?
Kami sudah sejak November 2014 tidak ekspansi, tidak ada bonus untuk tambah kebun.
Tidak ada land bank atau seperti apa?
(Hmm) gimana ya, RSPO juga kan makin panjang persyaratannya untuk buka kebun baru. Jadi kami sedang fokus untuk mengurus masalah soal sertifikasi dan pengelolaan kebun kami sekarang, kebijakan kami soal sosial dan lingkungan. Sementara kami konsolidasi, kami memang tidak menambah.
Berapa persen kebun GAR yang sudah RSPO?
Sekitar 70 persen, kami memang sudah tidak ada ekspansi sejak November 2014. Kami yang masih menanam baru memang adalah untuk memenuhi janji plasma. Karena sudah janji, tapi membutuhkan proses yang lama misalnya soal proses ganti rugi, itu yang kami kerjakan, tapi untuk kebun kami sendiri sih tidak.
Bisa dijelaskan soal traceability yang dilakukan GAR?
Jadi kami sudah melakukan praktik berkelanjutan sejak lima tahun terakhir. Kami sudah bisa 100 persen ketelusuran itu pada level mills (pabrik sawit) dimana CPO yang dibeli berasal dari 489 pabrik. Dari jumlah tersebut sekitar 44 refineri milik sendiri. Sementara itu, kami juga membeli dari 445 pabrik milik perusahaan lain.
Selesai dengan data ketelusuran di pabrik diperoleh data nama, koordinat, alamat, pemilik, nama, lokasi, kemudian kami ingin mengetahui pasokan buah pabrik itu berasal darimana.
Tahun ini hingga tahun depan kami akan membuat ketelusuran jadi membuat dokumen catatan untuk pabrik kami yang berjumlah 44 unit. Pasokan sawit selain dari kebun sendiri juga berasal pihak ketiga seperti petani swadaya dan perusahaan lain. jadi kami ingin menyelesaikan dokumentasi dari mills kami.
Setelah kami tahu bagaimana mengumpulkan data dengan mudah karena itu harus berdiskusi dengan pihak perantara, dengan pemasok, yang mengumpulkan dari kebun orang. Ada metode untuk memeriksa kebenaran dari laporan, tidak bisa mengarang, nanti kalau dijumlahkan ternyata beda, kami mau ujicoba dulu di mills kami, kalau sudah ditemukan caranya yang mudah, cepat, murah untuk mendapatkan informasi dari mana buah itu berasal baru kami akan masuk untuk diskusi ke mills perusahaan lain yang juga support ke kami.
Harapannya memang hingga 2020 kami tahu persis, misalnya kalau kami jualan lemak untuk kue, atau kosmetik, atau minyak goreng kami tahu persis pohonnya dimana. Sehingga jika ada yang bertanya kami bisa dengan yakin menjawabnya
Artinya, inisiatif seperti ini memang baru GAR yang menghadirkannya?
Kami memang termasuk kelompok yang pertama melakukannya, ada beberapa perusahaan memang tapi mungkin hanya 1-2. Memang ini juga salah satu upaya untuk mengajak pelaku di sektor ini agar transparan dan berkelanjutan, sehingga kami bisa menjawab tuduhan-tuduhan bahwa sawit merusak. Jadi upaya ini bisa meng-counter black campaign.
Artinya bisa mapping dari 445 itu sudah ada yang tersertifikasi?
Iya ada, kalau yang sudah memang lebih mudah, tapi kalau yang belum. Karena sekarang ada masalah karena produk RSPO sendiri pun belum sepenuhnya tersera. Jadi memang untuk membuat sawit berkelanjutan tidak bisa growers seperti kami, tapi juga konsumennya juga yang harus banyak permintaanya, dan membelinya.
Dalam satu tahun, berapa rata-rata kebutuhan CPO GAR?
Kami punya 8 refineri, itu kami mengolah sekitar 6 juta ton CPO. 3 juta diproduksi sendiri dari kebun sendiri. Dan juga kami kalau mau proses itu kami harus punya pembeli dulu dong karena nanti malah numpuk di gudang.
Jadi kami melakukan integrasi dari hulu ke hilir, dari bibit juga kami kembangkan hingga proses produk akhir. Sehingga kalau ada demand kami bisa siapkan.
Begitu mencapai semua sudah habis, kan masuk ke mills orang lain,itu yang kami agak repot kalau ditanya pohon dari mana? Yang pasti kami tau millsnya di sini, pasti belinya 60 kilometer dari situ, karena tidak mungkin jauh-jauh karena buah akan turun rendemen kalau lebih dari 24 jam. Jadi kami bisa bilang kalau mills tersebut aman.
Karena di radius 60 meter itu tidak ada kawasan hutan, hutan lindung, dan ISPO beres.
Dari hitungan bisnis, sepertinya hari ini traceability belum terlalu dibutuhkan termasuk karena permintaan CSPO yang masih kurang. Apa alasan GAR melakukannya?
Dalam jangka panjang kami melihat, ini adalah hal yang harus kami kuasai. Semakin kami cepat melakukannya semakin murah biayanya. Kalau kami tunda terus selalu lebih mahal. Jadi kami harus berinisiatif melihat pasar arahnya kemana, dan saat pasar tersebut hadir kami sudah siap. Bukan untuk hari ini memang tapi 10-50 tahun lagi.
Kedua, resiko berkebun itu macam-macam, tahun lalu kekeringan, kebun kami yang terbakar memang kecil 0,5 persen. Tapi api dimana-mana jadi kebakar juga kami meskipun kecil. Atau ada resiko konflik, ribut sana-sini, macam-macam jadinya. Nah kami harus tahu sedikit banyak keperluan di dalam resiko apa yang kami hadapi dari barang yang kami beli, jangan enak tidak mau tahu dan tiba-tiba barangnya hilang, oh ternyata barangnya ilegal, ditangkapin semua.
Sangat bodoh, kalau kami tidak mengantisipasi bahaya dan resiko yang harus dikelola. Jadi traceability penting untuk meminimalisir resiko dan membuat rencana jangka panjang yang lebih akurat.
Jika dari 445 PKS yang memang ternyata tidak sustainable, akan diputus kontraknya atau bagaimana?
Kalau harus diputus ya cari PKS (Pabrik Kelapa Sawit) yang lain. Selain itu, kebun swadaya kami sudah mencapai 45 persen dan tidak bisa berasumsi bahwa semua kebun swadaya bermasalah. Banyak juga petani swadaya yang benar inilah yang menjadi pilihan utama kami. Jadi sebetulnya resiko berkurangnya pasokan dalam populasi yang sedemikian besar itu bisa dikelola dengan baik.
Tapi, kami bukan bermaksud menjadi polisi. Ini penting. Kamu itu tranparan tidak, kalau tidak tranparan nanti akan dihukum, tidak begitu.
Kalau tidak transparan ya kami ajak dan fasilitasi. Kadang mereka tidak transparan karena ada keterbatasan bukan karena niatnya jahat dan semacamnya. Makanya perlu ada ketelusuran, kalau mereka belum bisa kami bantu, apa masalahnya? Misal di transportasi.
(Selengkapnya silakan baca di Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Juni-15 Juli 2016)