Pelaku industri hilir sawit keberatan dengan rencana penyesuaian pungutan ekspor.Pasalnya, skema progresif di dalam PMK 191/2020 sangat mendukung pertumbuhan produk hilir. Berharap tarif pungutan baru tidak mengganggu daya saing ekspor.
Berulang kali, Sahat Sinaga, menyitir pidato Presiden Joko Widodo berkaitan program hilirisasi. Mengutip pernyataan presiden bahwa ekspor produk tidak lagi barang mentah. Melainkan harus produk bernilai tambah tinggi.
“Kalau mau ekspor, kita harus berani menjual produk hilir yang tarif PE rendah. Ini akal-akalan saja yang minta pungutan ekspor diturunkan,” keluh Sahat.
Pungutan ekspor yang diatur dalam PMK 191/PMK.05/2020 dinilai bisa mendorong industri hilir kelapa sawit (IHKS), menjaga stabilitas harga sawit dalam negeri baik produk minyak goreng di level industri dan TBS petani.
“GIMNI meminta pemerintah supaya konsisten mengimplementasikan PMK nomor 191/PMK.05/2020 yang mulai efektif berjalan pada 10 Desember 2020. Sebab aturan ini sudah terbukti mampu meningkatkan daya saing produk hilir sawit Indonesia baik itu berupa oleofood. Dan juga oleochemicals di pasar global sekaligus menjaga stabilitas harga produk sawit untuk makanan di pasar dalam negeri, yang bermuara terciptanya kebijakan hilir sawit,” jelas Bernard Bernard Riedo, Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) dalam keterangan tertulis, Minggu (23 Mei 2021).
Dengan struktur pungutan ekspor progresif, menurut Bernard, ada kenaikan ekspor dalam bentuk produk hilir sawit. Begitu pula investasi hilir terus bertambah di dalam negeri. Industri hilir sawit akan memberikan nilai tambah yang lebih besar dari aspek penyerapan tenaga kerja, pajak, dan devisa.
Kebijakan tarif pungutan ekspor sawit yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.05/2020 dinilai sudah on the right track atau sejalan dengan arah program hilirisasi.
Bernard Riedo mengatakan skema tarif pungutan sawit yang lebih tinggi kepada produk hulu, dan tarif lebih rendah untuk produk hilir sangat mendukung daya saing ekspor produk hilir Indonesia di pasar global.
Statement Bernard bukan tanpa data. Dari data GIMNI, sepanjang Januari sampai April 2021 komposisi ekspor produk hilir (high value add) dalam bentuk volume di atas 80% – 90%. Sedangkan, ekspor minyak sawit mentah (CPO & CPKO, low value add) rerata menurun drastis kearah 10%-20%.
Pada Januari, ekspor produk CPO dan turunannya mencapai 2,861 juta ton (24% Crude Oils/CO dan Palm Processed Oils/PPO sebesar 76%). Selanjutnya Februari, volume ekspor sawit berjumlah 1,994 juta ton (crude oils 20% dan PPO sebesar 80%).
Volume ekspor sawit dan turunannya di Maret naik menjadi 2,63 juta ton (crude oils 12% dan PPO 88 %). Bulan April, volume ekspor kembali naik menjadi 3,078 juta ton (crude oils 10,6 % dan PPO 89,4 %).
Sahat Sinaga menjelaskan bahwa regulasi pungutan ekspor memberikan insentif yang cukup attractive untuk produk hilir. Alhasil, peningkatan nilai tambah di sektor hilir akan berkontribusi bagi banyak hal antara lain nilai devisa ,lapangan kerja dan pajak negara. Dan elemen ini sering dilupakan oleh sebagian para pebisnis sawit Indonesia.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 116)