JAKARTA – SAWIT INDONESIA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengharapkan pemerintah meniru regulasi Malaysia, yang dapat menyesuaikan dengan kebijakan negara tujuan ekspor sawit seperti Pakistan. Sebab, kebijakan sekarang dianggap menghambat ekspor sawit, hal ini menyebabkan ekspor sawit ke negara Pakistan pada 2016 menurun sebesar 5,5 persen, dari 2,19 juta ton menjadi 2,07 juta ton.
“Pemerintah harus mengantisipasi penurunan dengan mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan negara tujuan ekspor sawit, seperti yang dilakukan negeri Malaysia sehingga ekspor tetap terjaga. Pemerintah harus awas dengan perubahan-perubahan yang terjadi di negara luar,” kata Kanya Laksmi Sidartha, Bendahara Umum GAPKI, beberapa waktu lalu.
Selain masalah regulasi, penurunan ekspor sawit ke Pakistan juga disebabkan oleh kompetisi dagang dengan Malaysia, yang gencar memberikan potongan harga besar-besaran kepada negara Pakistan. Untuk mengantisipasi penurunan tersebut, sejak Januari lalu, GAPKI bersama Menteri Perdagangan dan BPDP melakukan promosi dan negoisasi perdagangan dengan Pakistan dalam menghadapi kompetitor dari Malaysia.
Pertemuan itu menghasilkan keputusan agar Indonesia memperbaruhi PTA (Prefential Trade Agreement) yakni kesepakatan yang memberikan akses istimewa terhadap produk tertentu masuk ke negara peserta PTA, sehingga bisa mengurangi tarif perdagangan ke luar. Dalam hal ini, Pakistan mensyaratkan produk unggulannya bisa masuk ke Indonesia, untuk memuluskan ekspor sawit ke negara tersebut.
“Intinya, Pakistan meminta PTA yang memberikan izin produk mereka bisa masuk ke Indonesia. Produknya macam-macam dari mangga, jeruk, kapas dan beras basmati, seperti masalah beras basmati sudah dinegoisasikan dengan Departemen Pertanian, mereka bukan memasukan beras lokal tetapi beras basmati yang hanya sedikit permintaanya sehingga secara keseluruhan tidak menganggu perekonomian nasional.
“Mereka meminta komoditasnya bisa dibanyakin, tetapi tetap saja tidak bisa seimbang, walaupun Pakistan mendapat 200 juta dolar AS yang diterima oleh mereka dari perdagangan ke Indonesia, tetapi mereka harus membayar 1,8 miliar dolar AS ke kita dari menjual sawit,” terangnya.
Namun, kata dia, pemerintah masih mempertimbangkan permintaan dari negeri Pakistan dan belum memastikan kapan kebijakan yang memperolehkan komoditas Pakistan masuk ke Indonesia bisa keluar. Rencananya, pada Februari Kementrian Perdagangan akan Pakistan untuk membicarakan permasalah ini.
“Regulasinya tidak membolehkan produk ini masuk ya, jadi membuat susah. Kita sebagai GAPKI tidak bisa berbuat apa-apa, tapi ada kabar pejabat tinggi Kementrian Perdagangan akan berkunjung ke sana, yang diharapkan bisa ada perbaikan kerja sama. Hal ini harus diapresiasi ada andil dari GAPKI,” pungkas Kanya. (Ferrika)
Sumber foto: operationworld.org