Pemerintah diminta tegas dalam penetapan tata ruang di daerah. Persoalan tata ruang menyebabkan ketidakpastian investasi sektor sumber daya alam. Asosiasi perlu dilibatkan dalam pembahasan kawasan hutan dan tata ruang.
Masalah tata ruang menjadi persoalan pelik yang sulit diselesaikan. Munculnya berbagai aturan tidak kunjung menyelesaikan masalah ini, bahkan cenderung menjadi beban baru. Pemerintah diminta bersikap tegas dalam hal penetapan tata ruang status dan fungsi lahan. Hal ini terungkap dalam Lokakarya Wartawan Ekonomi dan Pertanian yang diselenggarakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada akhir Agustus 2018 di Belitung,
“Regulasi yang berlaku sebaiknya tidak berubah-ubah. Dan harus memberikan kepastian, bukannya bersifat abu-abu,” ujar Eddy Martono, Ketua bidang Agraria dan Tata Ruang Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia.
Dia mencontohkan masalah perubahan status lahan dalam perencanaan tata ruang merupakan tantangan tersendiri bagi perusahaan sawit. Contoh konkrit berkaitan Peraturan Menteri Agraria/ Tata Ruang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan HGU, di dalam pasal 15 mengenai perubahan status Hak Guna Usaha (HGU).
Menurut Eddy, substansi pasal tadi jelas mengkhawatirkan terkait status HGU kebun sawit yagn dapat diubah tanpa pemberitahuan. Semisal, perubahan status HGU lahan sawit menjadi cagar alam. Dalam ayat 1 dan 2 pasal tersebut dinyatakan bahwa mengenai perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) terhadap HGU dilakukan penyesuaian hak dan/atau peralihan hak paling lama 3 tahun. Lalu dapat dilakukan dengan pelepasan hak oleh pemegang hak untuk dimohonkan kembali atau dialihkan kepada pihak lain sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Bagi pelaku usaha, kata Eddy, apabila terjadi perubahan status HGU disebabkan untuk peruntukan proyek strategis nasional seperti jalan tol, maka perubahan tadi sangat didukung sekali. Tapi yang terjadi di lapangan bahwa perubahan status seringkali berupa alih fungsi lahan untuk fungsi lain-lain antara lain hutan cagar alam atau hutan produktif.
Adanya tumpang tindih dan ketidakjelasan lahan yang belum terselesaikan secara tuntas menjadi faktor penghalang pertumbuhan iklim investasi Indonesia. Itu sebabnya, industri sawit menjadi sibuk memikirkan persoalan tumpang tindih lahan yang terjadi di beberapa kementerian.
Eddy menyarankan, dalam revisi (deregulasi) nanti, sebaiknya penetapan kawasan hutan dipertegas dengan menjadi hutan primer, sekunder, dan hutan produksi, sehingga tidak menimbulkan banyak konflik seperti yang saat ini terjadi. “Faktanya, banyak kawasan hutan yang justru “menabrak” HGU karena penetapan aturannya diberlakukan belakangan,” kata Edi.
Persoalan lain adalah pemerintah juga menyimpang dari aturan sebagai contoh pengukuhan kawasan hutan tidak melalui tahapan yang merujuk regulasi. Ada empat tahapan yang harus dilakukan yaitu penunjukkan kawasan hutan, penataan tata batas, pemetaan kawasan hutan, dan terakhir penetapan kawasan hutan.
“Semua tahapan pengukuhan tadi tidak bisa hanya melalui penunjukan. Karena proses ini sudah diatur dalam Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) nomor 45 Tahun 2011 mengenai pengukuhan kawasan hutan,” jelas Eddy.Sesuai dalam pasal 15 di UU Nomor 41/1999 mengenai kehutanan bahwa pengukuhan kawasan hutan harus memperhatikan RTRW.
Berdasarkan data bahwa penetapan kawasan hutan sampai Juli 2017 yaitu telah terbit surat keputusan 1.984 SK, jumlah peta 3.747 lembar, luas penetapan 87,47 juta hektare, dan luas kawasan hutan 125,945 juta hektare.
Dari data tadi yang menjadi pertanyaan Eddy: apakah dalam penetapan kawasan hutan tersebut melalui proses tata batas?Asumsinya luas daratan Indonesia 190 juta hektare tetapi kawasan hutan seluas 125,945 juta hektare. Ini artinya luas daratan untuk kepentingan budidaya, perumahan dan fungsi lain diberikan 34% saja dan kawasan hutan sangat besar porsinya 64%. Padahal merujuk aturan terkait kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30%.