JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Dr. Gulat ME Manurung, MP, CIMA, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) menyebutkan kondisi harga TBS saat ini tidak lagi baik-baik saja, khususnya pasca diberlakukan kembali pungutan ekspor CPO.
Tantangan dihadapi petani saat ini adalah produksi dan produktivitas yang melandai, cenderung stagnan. Biaya produksi terus meningkat, kepastian hukum dalam berusaha, tuntutan sustainability dan persepsi negatif sawit.
Semenjak tahun lalu, biaya produksi sawit terus naik sebagai dampak kenaikan harga pupuk dan pestisida. Harga pupuk meningkat 300% dan petani tidak sanggup membeli.
“Biaya pokok produksi bertolak belakang dengan produktivitas dan ini akan membuat daya saing sawit kita semakin rendah,” kata Gulat dalam Talkshow Sawit Indonesia Award 2022 bertemakan “Optimalisasi Ekspor Sawit Sebagai Antisipasi Dampak Resesi”, pada pertengahan Desember 2022.
Sebelum terjadi turbulensi, kata Gulat, petani masih mendapatkan keuntungan Rp2,8 sampai 3,6 juta per hektare, dengan asumsi harga pupuk normal. “Namun yang terjadi saat ini HPP kami itu mencapai Rp30 juta/ha/tahun, penjualan TBS Rp36 juta per ha. Untungnya cuma Rp6 juta kalau dibagi per bulan, kami Cuma dapat Rp500 ribu per ha,” terang dia.
Salah satu upaya menggenjot produktivitas sawit melalui peningkatan kegiatan peremajaan sawit atau replanting.”Namun 70% masalah Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) adalah kawasan hutan, sudah ada Undang-Undang Cipta Kerja yang menjadi harapan petani, tapi sampai sekarang belum operasional sebagai resolusi masalah,” tandasnya.
Agar kelapa sawit terus tumbuh, Gulat mendorong penggunaan teknologi untuk peningkatan efisiensi operasional. “Hilirisasi TBS adalah solusi ekspores, seperti melalui pabrik minyak makan merah (Pabrik M3) yang diinisiasi oleh Kementerian Koperasi dan PPKS dan Pabrik PAMIGO Kementan. Jika ini terealisasi akan memberikan harapan baru kepada petani sawit untuk lebih mudah masuk ke hilir,” jelas dia.
Terkait sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil atau ISPO, menurut dia harus dibagi dua skema yakni absolute dan relative. Petani sawit masuk relatif dengan membuat klaster diamond, gold dan silver.
“Kalau ini tidak diakomodir, maka petani sawit akan terjebak dengan mandatory ISPO di 2025. Faktanya sejak 6 tahun berjalan ISPO petani sawit baru 0,42% dari total luas lahan 6,8 juta ha yang berhasil meraih ISPO” kata Gulat.
Berdasarkan data APKASINDO, pendapatan petani paling tinggi itu lebih dari Rp8 juta per bulan (34,38%) dengan luasan 1 kavling, hampir berimbang antara pengeluaran dengan pendapatan.”Ini sangat rentan pada 2023 kalau tidak diselamatkan melalui program PSR, intervensi harga pupuk, hilirisasi dan antisipasi kenaikan biaya sarpras lainnya, maka dapat dipastikan petani sawit akan menjadi penyumbang resesi,” ujar Doktor Lingkungan Universitas Riau ini .
Gulat menambahkan, kelapa sawit yang dikelola oleh petani sawit itu sudah masuk indeks yang cukup baik, kesejahteraan diatas karet, kelapa, kakao, kopi dan sagu.
Meskipun, petani kelapa sawit hanya mampu mensuplai 28% dari total produksi CPO nasional yang mencapai 48,9 juta ton, namun data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa multiplayer efek perkebunan kelapa sawit rakyat melampui korporasi.
“Kata kuncinya adalah sawit petani sebagai gerbong pendorong utama ekonomi Indonesia, salah mengambil kebijakan, fatal akibatnya,” tutup Gulat.