Kelapa sawit ibarat anak tiri di negeri sawit.Tuduhan deforestasi tetap menguat. Kemampuannya menyerap emisi karbon diabaikan. Bahkan, kelapa sawit dituduh tanaman “haram” di kawasan hutan.
Kalangan akademisi lain, Prof. Sudarsono Soedomo, Guru Besar IPB University, mengatakan peranan kelapa sawit dapat dilihat dari level nasional atau internasional. Dilihat dari kemampuan produktivitasnya, satu hektare kelapa sawit lebih tinggi enam kali lipat dari minyak nabati.
“Ini artinya, kelapa sawit pendorong reforestasi. Bukan deforestasi,” tegas Sudarsono saat berbicara dalam Debat Terbuka “Peran Kelapa Sawit Dalam Perubahan Iklim Dunia” yang diselenggarakan Yayasan Pusaka Kalam dan Relawan Jaringan Rimbawan (RJR) Senin (4 Oktober 2021).
Problem sekarang adalah ketika lahan masih berbentuk alang-alang. Dikatakan Sudarsono, tidak banyak orang meributkannya. Tetapi setelah lahan berubah menjadi kelapa sawit barulah orang ribut. “Sawit yang paling produktif dan bermanfaat besar ini. Malahan dicaci maki dan disalahkan,” ujarnya.
Dalam bidang perubahan iklim, Dr. Petrus Gunarso, Kepala Divisi Riset, Kebijakan, dan Advokasi RJR, mengatakan kelapa sawit memiliki peranan untuk menyerap emisi karbon. Masalahnya, belum banyak menghitung kemampuan ini. Pemerintah menargetkan sektor pertanian berkontribusi pengurangan emisi karbon.
0,32% dari target 29% dalam NDC. Sementara, sektor kehutanan ditargetkan 17% dari NDC. Jadi yang harus mengurangi emisi karbon paling banyak di sektor kehutanan.
“Jadi NDC adalah kontribusi Indonesia dalam pengurangan emisi GRK. Komitmen Indonesia sebesar 29% unconditional, namun menurunkan 41% apa bila dibantu sektor internasional,” jelasnya.
Ia mengatakan sektor kehutanan dibebani sedemikian besar sehingga menciptakan moratorium se-Indonesia. ”Ini bagaimana rimbawan mau bekerja. Terlalu berat bagi sektor kehutanan menanggung ini sendiri,” jelasnya.
Dalam Inpres Nomor 6/2019 mengenai Rencana Aksi Sawit Nasional. Ada arahan tugas dari Presiden kepada Kementerian terkait. Sebagai contoh, Kementerian LHK diminta untuk melakukan pengukuran, pelaporan dan verifikasi (measurement, reporting, and verification/MRV) potensi penurunan emisi gas rumah kaca di perkebunan kelapa sawit.
Selanjutnya Kementerian Pertanian ditugaskan meningkatkan akses pendanaan peremajaan tanaman bagi pekebun. Selain itu, melaksanakan penurunan emisi gas rumah kaca di kebun dan lahan.
Bagi Kementerian ATR/BPN diberikan tugas yaitu meningkatkan pemanfaatan lahan kritis sebagai upaya penurunan emisi gas rumah kaca dalam perkebunan kelapa sawit, melakukan penanganan sengketa lahan perkebunan kelapa sawit di kawasan area penggunaan lain, dan legalisasi lahan hasil penyelesaian status perkebunan dalam kawasan hutan dan penyelesaian sengketa lahan.
“Saya belum mendapatkan update informasi sejauh mana Kementerian terkait untuk melaksanakan berbagai tugas dalam RAN Sawit,” jelas lulusan S3 Universitas of Queensland.
Prof. Yanto Santosa, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University, menguraikan berbagai tekanan dan diskriminasi yang ditujukan kepada kelapa sawit. Kendati tinggi produktivitasnya dan berkontribusi bagi negara faktanya tanaman emashi jau ini mengalami diskriminasi luar biasa. Diskriminasi terhadap sawit dilakukan oleh lembaga internasional dan institusi negara.
Dalam presentasinya berjudul Kelapa Sawit Sebagai Tanaman Hutan diuraikan 6 fakta diskriminasi yang diterima kelapa sawit. Pertama, FAO tidak mengkategorikan kelapa sawit sebagai tanaman hutan.
”Bayangkan, tanaman seperti bambu, sagu, dan aren masuk kategori tanaman hutan. Satu famili palmae. Lalu kenapa sawit bukan kategori hutan. Ini (definisi) FAO. artinya terjadi diskriminasi terjadi di tingkat internasional,” ujar Yanto Santosa.
Pernyataan ini diungkapkannya saat menjadi pembicara Debat Terbuka bertemakan “Peran Kelapa Sawit Dalam Perubahan Iklim Dunia” yang diselenggarakan Relawan Jaringan Rimbawan dan Yayasan Pusaka Kalam, Senin (4 Oktober 2021).
Kedua, Kementerian LHK tidak mengijinkan tanaman kelapa sawit ditanam di kawasan hutan produksi.
Ketiga, Penolakan Permenhut No.62/2019 untuk memasukkan kelapa sawit sebagai tanaman Hutan Tanaman Industri (HTI). Dalam beleid ini dikatakan Yanto Santosa, ada tiga kategori tanaman yang masuk pembangunan HTI yaitu tanaman hutan berkayu, tanaman budidaya tahunan yang berkayu, dan tanaman jenis lainnya seperti rumput gajah, kelapa, aren, pinang, sagu, bambu. Tetapi tanaman sawit tidak masuk ketiga kategori tadi.
“Anehnya pasal 13 permenhut 62/2019 menjelaskan tanaman hutan berkayu, tanaman budidaya tahunan yang berkayu, dan tanaman jenis lainnya yang digunkaan untuk biofuel dan biomassa kayu itu boleh dijadikan tanaman HTI. Tetapi kenapa sawit tidak boleh. Jelas ini bentuk diskriminasi nasional,” tegas lulusan S-3 Universite Paul Sabatier Toulouse III, Perancis.
Keempat, kelapa sawit yang luasnya 16,3 juta tidak dihitung sebagai penyerapan gas rumah kaca. Prof Yanto menguraikan bahwa kelapa sawit ini juga melalui proses fotosintesa dan respirasi yang dapat menyerap emisi karbon.
“Dari penelitian berbagai pakar bahwa laju fotosintesa kelapa sawit lebih tinggi dari pada hutan tropikal. Karbon stok hutan alam tinggi karena usia tanamannya sudah berpuluh tahun. Tetapi kelapa sawit ini usianya hanya 25 tahun. Jika menghitung dari karbon stok tidak fair karena umurnya berbeda,” ujar Yanto.
Itu sebabnya, lebih fair menghitung penghematan emisi dari lajur espirasi dan fotosintesa. Selain itu, biomassa kelapa sawit lebih tinggi dari tanaman lain.
Kelima, kelapa sawit yang ditanam di kawasan hutan dan selalu dituding sebagai deforestasi. Tetapi tuduhan ini tidak berlaku kepada tanaman lain seperti karet, akasia, dan aren.
Menurut Yanto, kontribusi kelapa sawit bagi deforestasi global sangat kecil dibandingkan kegiatan peternakan dan pertanian lainnya. Penyumbang deforestasi terbesar adalah peternakan sapi di Amerika Selatan 24,3% disusul kebakaran 17,3%, perluasan kebun kedelai 5,6%, perluasan lahan jagung 3,1%. Sedangkan kontribusi sawit sekitar 2,3% merujuk data European Commision (2013).
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit indonesia, Edisi 120)