Oleh : Dr. Bedjo Santoso, MSi*
*Peneliti I-SER FMIPA Universitas Indonesia dan AlumniLemhannas PPSA XX
Artikel ini akan dipublikasikan untuk dua bagian : Bagian Pertama (15 Mei-15 Juni 2020). Bagian Kedua (15 Juni-15 Juli 2020).
|
Pemerintah Indonesia sepertinya sudah tidak berdaya.
Pemerintah melalui Kepala BKPM Bahlil Lahadalia seperti alinea ke-2 tersebut pada Pendahuluan di atas, jelas mengganggap bahwa kelapa sawit tidak perlu dikembangkan lagi dan bahkan harus di stop sama sekali dengan mengeluarkan Instruksi Presiden perihal Moratorium atau Larangan Menanam Kelapa Sawit. Yang perlu dikembangkan menurut Bahlil adalah usaha perkebunan berdasarkan kearifan lokal seperti pala, lada, durian, manga dan sebagainya. Berdasarkan penjelasan Menteri Bahlil tersebut muncul pertanyaan berikut : apakah usaha kelapa sawit sudah jenuh sehingga harus distop???? apakah kelapa sawit bukan kearifan/budaya lokal ???? apakah tanaman lokal yang disebutkan Menteri Bahlil dapat bisnisable yang dapat menggantikan sawit????
Usaha kelapa sawit seperti halnya usaha-usaha lain dapat mengalami kejenuhan sehingga tidak mungkin lagi dijalankan. Faktor kejenuhan usaha kelapa sawit antara lain jika: (1) siklus produksi sawit (tanam, pelihara, produksi, dan lahan) sudah putus atau tidak ada lagi, (2) sistem pasar sawit (penjual, pembeli, harga, dan tempat) tidak ada lagi, (3) Innovasi ( produk awal atau akhir) tidak ada lagi, (4) membahayakan kehidupan. Apa bila faktor tersebut baik salah satu mau pun seluruhnya sudah dijumpai maka usaha sawit harus stop. Kenyataannya seluruh ke-3 faktor dimaksud masih ada dan dibutuhkan, contohnya populasi penduduk dunia yang sudah mendekati 8 miliar pada 2019 membutuhkan ketersediaan minyak nabati sekitar 192 juta ton, maka diperkirakan pada tahun 2025 diiringi dengan kebutuhan minyak nabati mencapai 226,7 juta ton. Sedangkan Produksi minyak nabati global pada 2019 sebanyak 189 juta ton yang pada tahun 2025 meningkat menjadi 218,2 juta ton. Dari angka kebutuhan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa demand minyak nabati masih terus tumbuh dimana kesenjangan antara produksi dengan kebutuhan semakin besar. Apa lagi kedepan konversi minyak nabati menjadi energy suatu keniscayaan yang semakin besar (seperti progam B30 Indonesia dan B50 Malaysia) maka demand minyak nabati akan semakin meningkat, sehingga kebijakan stop usaha kelapa sawit di Indonesia adalah pemaksaan yang tidak beralasan.
Kenyataan lain, bahwa hampir seluruh produksi makanan baik kue mau pun minuman membutuhkan minyak nabati. Dengan demikian kelapa sawit sebagai sumber produksi minyak nabati terbesar tidak perlu distop justru harus dibina secara optimal agar daya saing nasional tetap terjaga. Bahkan pada saat ini produk kelapa sawit telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional, maka tindakan atau kebijakan stop kelapa sawit dapat menggerogoti tulang punggung nasional karena melemahkan daya saing nasional, bahkan bisa mengarah kepada tindakan yang un-nasionalis.
Kearifan Lokal adalah sebuah tema humaniora yang diajukan untuk memulihkan peradaban dari krisis modernitas. Ia diunggulkan sebagai “pengetahuan” yang “benar” berhadapan dengan standar “saintisme” modern yang berkembang di masyarakat milenial ini. Sains modern dianggap memanipulasi alam dan kebudayaan dengan mengobyektivkan semua segi kehidupan alamiah dan batiniah. Kearifan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara, dan perilaku yang dianggap baik dan benar yang dapat bertahan dalam waktu yang lama serta melembaga (Mariane, 2014). Pengertian lain bahwa kearifan lokal sebagai pengetahuan yang berdasarkan pengalaman masyarakat turun-temurun antar generasi pada suatu komunitas dan lingkungan sekitar (Kongprasertamorn (2007). Lebih lanjut menurut Rahyono (2009), kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya, kearifan lokal di sini adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka kegiatan tanam-menanam (pertanian, perkebunan, kehutanan) tanpa kecuali oleh bangsa Indonesia dari Aceh – Papua telah berkembang dan melembaga di sebagian besar masyarakatnya sebagai kearifan lokal. Oleh karena itu anggapan budaya berkebun kelapa sawit sebagai pengecualian kearifan lokal adalah suatu anggapan yang tidak tepat dan cenderung tidak tepat. Apa lagi anggapan yang tidak tepat tersebut digaungkan oleh pemimpin yang sedang berkuasa, maka dampaknya akan sangat merugikan bangsa dan negaranya sendiri.
Kelapa Sawit Indonesia Tetap Ramah Lingkungan
Seperti halnya hutan, kebun sawit juga merupakan ekosistem hayati yang bersifat renewable sehingga mampu menyerap dan menyimpan karbon, menurunkan suhu lingkungan, serta mampu menghasilkan produk-produk hayati seperti bahan pangan dan bergimaupun non hayati seperti jasa lingkungan yang sangat dibutuhkan masyarakat. Perdebatan kelapa sawit di Indonesia tidak boleh ditanam di dalam kawasan hutan dan atau di luar kawasan hutan karena merusak lingkungan sebenarnya tidak jelas dalilnya, sebab asal usul kelapa sawit itu sendiri berasal dari tumbuhan alami di hutan wilayah Afrika Tengah. Kalau alasan ekologis boros air, lingkungan kering, dan monokultur rasanya juga berlebihan, sebab ekologis Pinus, Jati, dan Mahoni ternyata lebih boros dibanding kelapa sawit. Demikian pula jika alasan kelapa sawit tanaman mono kultur yang rawan kebakaran juga tidak pas karena di wilayah lain dari belahan bumi ini, hutan yang terbakar pada musim kering ternyata bukan kelapa sawit. Pada akhirnya jika diteluri lebih jauh ternyata penyebab utama kelapa sawit dilarang tumbuh dikawasan Hutan Indonesia adalah opini/dokma tanaman kelapa sawit tidak ramah lingkungan dan perbedaan pandangan antara tanaman sawit dengan tanaman hutan seperti halnya pandangan agama islam pada kelompok ahmadiyah yang ditolak oleh komunitas muslim lainnya.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 104)