Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sudah berjalan satu tahun, tantangan masih banyak di lapangan. Hal ini diungkapkan Direktur Utama PT Riset Perkebunan Nusantara, Teguh Wahyudi saat acara Focus Group Discussion (FGD) pada awal Desember 2018.
Menurutnya, kendala muncul sejak penggalangan petani dan lahan yang diusulkan sebagai calon peserta PSR; pembentukan kelembagaan ekonomi petani; proses verifikasi proposal; penetapan CPCL dan rekomendasi teknik (rekomtek); sampai dengan perjanjian 3 pihak (BPDP; Koperasi/Perusahaan Avalis, dan Bank).
“Kendala yang muncul tidak hanya berupa persoalan teknis seperti pola tanam, ketersediaan data base; adminsitrasi; dan kelembagaan tetapi juga persoalan kebijakan seperti tata aturan penyelesaiaan lahan di kawasan hutan yang belum sepenuhnya menjadi solusi efektif dalam mengatasi kendala-kendala yang muncul di lapangan,” kata Teguh.
Tentunya persoalan tersebut menjadi tantangan bersama, bagaimana memilih dan menerapkan solusi yang paling tepat sesuai kondisi setiap kabupaten dan/atau propinsi program PSR dilaksanakan.
“Untuk itu, implementasi atas komitmen semua pihak, baik para petani yang bergabung dalam kelembagaan ekonomi petani (Koperasi), perusahaan mitra, perbankan (Lembaga keuangan), asosiasi petani, serta pemerintah pusat dan daerah bersama seluruh institusi terkaitnya masih sangat diperlukan dalam pencapaiaan target PSR di masa yang akan datang. Mengingat, target PSR yang harus dicapai dalam kurun waktu 2017 hingga 2022 cukup besar, yaitu seluas 2,4 juta hektar,” pungkas Teguh.
PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN) sebagai lembaga peneliti di bawah naungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara tidak langsung memiliki tanggung jawab jika program PSR tidak terlaksana dengan baik. Untuk itu, pihaknya secara berkala mengadakan diskusi untuk mencari solusi yang konstruktif dalam menyukseskan program peremajaan sawit masyarakat pekebun.
Melalui diskusi muncul strategi-strategi efektif yang harus ditempuh semua pihak, baik pada tahap persiapan maupun tahap pelaksanaan program PSR 2019 maupun di tahun mendatang. Dengan demikian, dalam diskusi dwi bulanan pada 2018 ini persoalan terkait status tata guna lahan (terutama lahan yang berada di kawasan hutan dan lahan gambut) dan status kepemilikan lahan (sertifikasi lahan) perlu dituntaskan untuk memperoleh solusi komprehensif dan akurat.
Hal ini sangat penting, karena status lahan menjadi penentu apakah seorang petani memenuhi syarat atau tidak sebagai calon peserta program PSR. Selain itu, strategi kelembagaan ekonomi petani berupa koperasi juga penting, agar para petani dapat menyiapkan persyaratan peserta program PSR sejak awal sehingga di masa mendatang program PSR tidak lagi kekurangan jumlah calon petani dan calon lahan (CPCL).