Industri oleokimia nasional berpeluang mengisi kebutuhan pasar dalam dan luar negeri. Tren gaya hidup akan memengaruhi kebutuhan oleokimia dan ragam produknya.
Perusahaan oleokimia di Indonesia mampu menghasilkan produk antara sawit yaitu Fatty Acids (asam lemak), Fatty alcohol (alkohol lemak), Glycerine, Methyl Este,r dan Soap Noodle.
Fatty Acids sebagai bahan baku yang digunakan industri sabun dan detergen, plastik, resin, pelumas dan minyak, karet, perawatan diri, makanan dan pakan ternak dan lain-lain. Fatty alcohol (alkohol lemak) digunakan untuk industri deterjen dan pembersih, antioksidan, perawtan diri, minyak bumi, makanan, pertanian, tekstil dan lainnya.
“Jadi industri oleokimia sangat bergantung pada bahan baku yang digunakan sehingga pabrik mendesain sesuai dengan bahan bakunya. Bahan bakunya terdiri dari CPO dan PKO yang komposisinya sangat berbeda,” ujar Ketua Bidang Mutu dan Sertifikasi APOLIN, Abun Lie, Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN).
Di dalam industri oleokimia ada dua gugus yaitu gugus alkyl ditentukan oleh jenis minyak dan gugus fungsional sangat bertanggung jawab pada sifat kimianya. Panjang rantai karbon sangat ditentukan oleh jenis minyak karena sangat berhubungan dengan ketersediaan bahan baku. Di Indonesia sangat mudah didapatkan minyak sawit (CPO dan PKO). Makanya, biodiesel menggunakan bahan baku minyak sawit.
Menurut Abun dari sisi market kami juga melihat kestabilan harga sangat tergantung pada kestabilan harga bahan baku. Ada demand yang alami karena ada penambahan populasi atau ada aplikasi baru. Tetapi yang paling mempengaruhi karena adanya perubahan pola hidup.
Kalau orang zaman dulu, biasanya menggunakan sabun multiguna yang bisa digunakan untuk mandi, mencuci baju dan sebagainya. Namun, saat ini sudah tidak lagi orang sudah terbiasa membedakan sabun mandi dan shampoo serta lain sebagainya. Saat ini, orang juga sudah punya kecenderungan mencuci dengan mesin cuci. “Ini adalah lifestyle yang mempengaruhi konsumsi per kapita. Dan, juga ada substitusi dari petroleum yang molekul sama atau tidak sama,” kata Abun.
Sebagai contoh, China konsumsinya sudah meningkat. Jadi konsumsi per kapita sangat dipengaruhi oleh lifestyle (penggunaan sabun dan kosmetik). Sebenarnya kuncinya industri oleokimia dapat terus berkembang atau meningkat produksinya ada pada aplikasinya. Jadi, masih ada ruang untuk meningkatkan pertumbuhan produksi. Menurut data yang ada, 44% masih dikonsumsi di negara-negara berpendapatan rendah dengan tingkat konsumsi 26,1 – 27,6 kg per kapita.
Terkait dengan peluang industri oleochemicals di tahun 2020, Abun menegaskan peluangnya masih bagus, asalkan pemerintah memperkuat dukungan bagi industri ini karena bersifat padat modal dan teknologi.
“Dan diperlukan peraturan dan keberlanjutan untuk memperkuat industri oleokimia di Indonesia dalam menghadapi beberapa tantangan seperti pemberlakuan tarif dan non tarif, sertifikasi, sosial, kampanye negatif, infrastruktur (pelabuhan, jalan dan sistem), peraturan seperti perpajakan dan perizinan dari kementerian lingkungan hidup,” pungkas Abun.
Sementara itu, Rapolo Hutabarat, Ketua Umum APOLIN menyebutkan industri oleochemical lndonesia menunjukkan pertumbuhan yang positif baik dari sisi nilai investasi, volume dan nilai ekspor. Pada 2017, volume ekspor produk oleokimia sebesar 1,79 juta ton dengan nilai ekspor US$ 1,53 miliar. Selanjutnya tahun 2018, volume ekspor oleokimia naik menjadi 2,76 juta ton dengan nilai sebesar US$ 2,38 miliar.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 98)