Perkembangan Kelapa Sawit
Indonesia merupakan negara produsen Minyak Mentah Sawit (CPO & CPKO) terbesar di dunia, dengan produksi pada tahun 2011 lebih dari 25 juta ton, meskipun data Ditjenbun hanya menyatakan 23,5 juta ton, dan pada tahun 2020 ditargetkan akan mencapai 40 juta ton;
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008, tentang Kebijakan Industri Nasional, industri pengolahan kelapa sawit (turunan MSM) merupakan salah satu prioritas untuk dikembangkan dan mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi, seperti industri oleofood, oleochemical, energi dan pharmaceutical.
Pemanfaatan CPO selama ini digunakan oleh industri dalam negeri sebagai bahan baku industri turunan CPO yang hanya 18 jenis produk yaitu industri pangan (antara lain minyak goreng, margarin, shortening, CBS, Vegetable Ghee) dan industri non pangan yaitu oleokimia (antara lain fatty acids, fatty alcohol, dan glycerin) dan biodiesel.
Kelapa Sawit dalam Pembangunan Pedesaan dan Perekonomian Lokal
Kemiskinan di Indonesia pada umumnya terdapat di pedesaan. Pada 2009, dari 32,5 juta orang Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional, 20,6 juta di antaranya tinggal di daerah pedesaan. Lebih dari separuh penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan. International Fund for Agricultural Development (IFAD) mendapati bahwa penduduk termiskin di daerah pedesaan pada umumnya buruh tani, dan luas lahan milik petani kecil tidak sampai 0,5 hektar.
Pada 2002, pertanian meliputi dua pertiga lapangan kerja di pedesaan dan mencakup hampir separuh pendapatan rumah tangga pedesaan (upah dan pendapatan dari pertanian). Pertanian di Indonesia berperan besar dalam menurunkan angka kemiskinan, terutama di daerah pedesaan. World Growth (2009) mencatat bahwa selama dasawarsa terakhir, perluasan industri, khususnya minyak sawit, merupakan sumber yang signifikan dalam penurunan angka kemiskinan melalui budidaya pertanian dan pegolahan hasil selanjutnya. Tepatnya, pertumbuhan tahunan 1% ternyata menurunkan kemiskinan total sebesar 1,9% (kemiskinan perkotaan sebesar 1,1%, dan kemiskinan pedesaan sebesar 2,9%)
Pertumbuhan industri minyak sawit yang signifikan menyebabkan minyak sawit menjadi komponen kegiatan ekonomi di sejumlah negara di wilayah ini. Di wilayah tertentu, kelapa sawit merupakan tanaman yang dominan dan berperan besar dalam pembangunan ekonomi. Pada dasawarsa terakhir, areal perkebunan kelapa sawit terus bertambah luas, rata-rata 13% di Kalimantan dan 8% di Sulawesi.
Penanaman dan panen kelapa sawit bersifat padat karya, sehingga industri ini berperan cukup besar dalam penyediaan lapangan kerja di banyak wilayah. Diperkirakan industri kelapa sawit di Indonesia mungkin dapat menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 4,5 juta jiwa dan mengentaskan mereka dari kemiskinan. Manfaat lain bagi pekerja industri kelapa sawit mencakup pendapatan pasti, akses ke perawatan kesehatan dan pendidikan. Industri kelapa sawit memberikan pendapatan berkelanjutan bagi banyak penduduk miskin di pedesaan; dan areal pengembangan kelapa sawit utama seperti Sumatera dan Riau juga memiliki persentase penduduk miskin yang besar.
Kelapa sawit menyediakan lapangan kerja untuk banyak petani kecil dengan lebih dari 6,7 juta ton kelapa sawit dihasilkan oleh petani kecil pada 2008. Pada 2006, sekitar 1,7 hingga 2 juta orang bekerja di industri kelapa sawit. Pada 2008, Komisi Minyak Sawit Indonesia mendapati bahwa lebih dari 41% total perkebunan kelapa sawit dimiliki petani kecil, dan 49% dimiliki swasta, sisanya yang 10 persen dimiliki pemerintah. Industri kelapa sawit berperan besar dalam pendapatan penduduk pedesaan, terutama petani kecil.
Tantangan bagi Industri Kelapa Sawit
Pembangunan industri kelapa sawit masih dihadapkan pada berbeagai tantangan, baik di sektor hulu maupun hilir. Seperti halnya komoditas pertanian lainnya, kelapa sawit juga menghadapi perubahan iklim yang berdampak pada pergeseran pola tanam, ketersediaan air, dan serangan hama dan penyakit tanaman. Selain itu, konflik agraria terkait dengan status maupun alih fungsi lahan masih menjadi kendala dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit. Isu lingkungan hidup juga masih mencoba menghambat perkembangan industri kelapa sawit.
Salah satu isu yang menjadi ancaman bagi industri kelapa sawit yaitu Notice of Data Availability (NODA) yang dikeluarkan oleh Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (Environmental Protection Agency–EPA) pada Januari 2012 lalu. NODA terssebut berisi vonis bahwa minyak kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel berasal dari praktik tidak ramah lingkungan. Vonis tersebut kemudian dianggap sebagai sebagai bentuk proteksi pemerintah AS untuk melindungi kepentingan industri minyak kedelai negara tersebut.
Sebeumnya sudah banyak regulasi internasional yang mencoba membatasi industri kelapa sawir, Uni Eropa telah mengeluarkan aturan REACH dan EU Directive, kemudian Amerika Serikat (AS) yang mengatur bahan-bahan kimia (CHAMP), serta data peringatan NODA yang awal tahun ini diliris oleh pemerintah AS melalui Badan Perlindungan Lingkungan. Peringatan NODA tersebut bertujuan menghadang masuknya biodiesel berbahan baku minyak sawit ke pasar konsumsi energi AS. AS sendiri sebagai produsen minyak kedelai terbesar dunia tidak melarang penggunaan minyak kedelai sebagai bahan baku biofuel. NODA tersebut tidak hanya melarang biodiesel berbahan baku minyak sawit, melainkan sumber bahan bakunya yaitu minyak sawit, juga dinyatakan tidak memenuhi standar kelestarian lingkungan.
Hal tersebut dapat menjadi hambatan bagi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, karena pemerintah Amerika Serikat sempat memberikan notifikasi untuk menolak produk minyak sawit dari Indonesia. Oleh karena itu, tantangan bagi setor industri hilir kelapa sawit nasional untuk dapat berkembang sehingga Indonesia tidak hanya mengandalkan ekspor dalam bentuk CPO.
Pembangunan industri kelapa sawit melalui MP3EI
Salah satu cara pemerintah kemudian menjawab tantangan dalam pembangunan industri hilir dari komoditas potensial dan strategis di Indonesia, salah satunya kelapa sawit, yaitu dengan menetapkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pencanangan MP3EI tersebut dilakukan dengan kesadaran untuk meningkatkan kerjasama seluruh stakeholder, baik pemerintah pusat, daerah, BUMN, BUMD, maupun swasta untuk membangun industri kelapa sawit yang berkelanjutan. Pelaksanaan MP3EI dilakukan dengan mengintegrasi tiga elemen yaitu pembangunan tiga koridor ekonomi, memperkuat konektivitas nasional, serta memperkuat kemampuan SDM dan IPTEK nasional.
Peningkatan industri kelapa sawit melalui MP3EI dilakukan dengan perbaikan regulasi dan kebijakan, peningkatan dukungan infrastruktur, serta peningkatan kualitas SDM dan IPTEK. Dari segi regulasi dan kebijakan, pemerintah memiliki peranan penting untuk meningkatkan kepastian regulasi tata ruang untuk pengembangan sektor hulu dan hilir kelapa sawit. Perbaikan regulasi, sistem insentif, serta kebijakan reward dan punishment juga diperlukan untuk mendorong terciptanya iklim usaha yang baik. Dari segi infrastruktur, peningkatan kualitas jalanan dan sarana trasportasi untuk memudahkan akses dalam menjalankan aktivitas industri sangat diperlukan. Hal ini juga harus didukung oleh peningkatan kapasitas dan kualitas pelayanan pelabuhan yang berperan dalam pengangkutan CPO agar mengurangi lamanya waktu tunggu.
Dari aspek SDM dan IPTEK, peningkatan riset untuk menghasilkan bahan tanaman maupun inovasi yang terkait dengan komoditas kelapa sawit harus terus ditingkatkan, diiringi dengan dukungan terhadap lembaga riset dan diseminasi hasil penelitian ke masyarakat. Selain itu, efektifitas bantuan permodalan, pembinaan, pelatihan, dan pemberdayaan pekebun rakyat juga sangat penting dilakukan untuk menciptakan kemandirian pekebun. Dengan peran serta setiap stakeholder yang terlibat, diharapkan terwujudnya industri kelapa sawit yang berkelanjutan dan berdaya saing, serta pemberdayaan masyarakat sawit sebagai pilar perekonomian bangsa Indonesia.