Peran kelapa sawit bagi bangsa ini luar biasa. Di usia 110 tahun kelapa sawit Indonesia terbukti berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
“Sawit adalah unggulan komoditas kita. Kita sudah 110 tahun bisa merecod sejarah sawit kita dimulai 1910 dibudidayakan secara komersial dan meluas di Sumatera,” ujar Kasdi Subagyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian (Kementan) pada acara 110 Tahun Kelapa Sawit di Indonesia dan Peranannya Bagi Negara.
Hingga tahun 1980-an, luas pertanaman kelapa sawit Indonesia sudah mencapai 200.000 hektare (ha). Sekarang sawit luasnya 14,59 juta ha.
“Itu perkembangan luar biasa, ini membuktikan bahwa komoditas sawit adalah komoditas yang sangat unggul bagi ekonomi dan kesejahteraan rakyat,” jelas dia.
Saat ini tidak bisa pungkiri berbagai benefit yang diperoleh dari kelapa sawit. “Pertama, aspek ekonomi dari ekspor yang didukung oleh sawit pada 2020 mencapai USD 18,44 miliar atau Rp 261 triliun,” kata Kasdi.
Komoditas kelapa sawit juga berkontribusi besar terhadap ekspor produk pertanian. “Akhir-akhir ini mebuktikan ekspor kita yang besar dari total ekspor pertanian Rp 451 triliun pada 2020. Itu 90% dari sub sektor perkebunan dan kurang lebih 89% adalah kontribusi dari kelapa sawit,” terang dia.
Selain itu, industri sawit mempekerjakan 16,2 juta pekerja. “Ini melibatkan tenaga kerja yang luas pekerja baik langsung maupun tidak langsung di perkebunan kelapa sawit,” jelas Kasdi.
Kedua, sawit ini juga menjadi bagian penting dalam pemulihan ekonomi di masa pandemi. Salah upaya yang dilakukan Kementan dalam rangka peningkatan produktivitas karena saat ini rata-rata 3,6-4 ton/ha CPO.
“Inovasi sudah menyediakan bahwa ada beberapa klon atau varietas yang produktivitas minyak sawit bisa mencapai 7 ton/ha. Oleh karena itu, Ini salah satu instrumens trategis untuk kita intervensi di dalam upaya kita memperbaiki dan meningkatkan produktivitas khususnya sawit rakyat melalui Program Sawit Rakyat (PSR),” terang dia.
Program PSR, adapun luas perkebunan sawit rakyat saat ini sekitar 6,94 juta ha. Potensi untuk peremajaan sekitar 2,8 juta ha.
“Kita tidak perlu khawatir dengan berbagai tantangan ada sawit di kawasan hutan, itu harus bisa kita selesaikan karena ini strategis, rakyat harus kita angkat dan sekaligus menjadi bagian penting untuk peningkatan produktivitas sawit menjadi signifikan kalau konsen terhadap sawit rakyat melalui PSR,” kata Kasdi.
Pemerintah telah menargetkan PSR pada 2020-2022 sebesar 540.000 ha, maka setiap tahun sekitar 180.00 ha. “Namun banyak tantangan yang dihadapi hingga kini realisasi 110.000-120.000 ha atau 25% dari total target,” ujar mantan Direktur Jenderal Perkebunan Kementan.
Melansir data Kementan, realisasi PSR 2017-2021 jumlah rekomendasi teknis (rekomtek) seluas 233.314 ha. Sementara itu, transfer dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mencapai Rp 5,9 triliun.
Kementan membuat terobosan dalam upaya percepatan program PSR. “Simplikasi persyaratan semula 14 dipangkas menjadi 2 syarat untuk mempermudah pekebun mengakses program tersebut. Negara juga memfasilitasi pendanaan PSR yang dilakukan oleh BPDPKS,” ungkap dia.
Kemudian prosedur disederhanakan dari 3 kali verifikasi mejadi 1 kali dan ini bertujuan mensin kronkan antara pusat, provisi hingga kabupaten guna memnpermudah rakyat mengikuti program PSR. “Apa lagi saat ini bersama BPDPKS, Kementan dan stakeholder lain melibatkan kemitraan-kemitran yang ada dalam mempercepat PSR,” tambahnya.
Dalam peningkatan produktivitas, Kementan membangun bantuan teknis untuk menyediakan perbenihan bagi rakyat dengan potensi produktivitas tinggi. “Tidak lagi 4 ton/ha, namun produktivitas minyak sawit 6 ton-7 ton/ha yang dihasilkan,” jelas dia.
Selain itu, pengembangan industri turunan sawit perlu dilakukan. Meskipun, kata Kasdi, hingga kini produk-produk itu yang baru ditangani dan ekspansi masih sangat terbatas. Produk oleokimia, produk pangan, obat-obatan dan energi masih terbatas.
“Biodiesel mejadi bagian penting, sekarang pada posisi B30. Kita terus meningkatkan itu dan dampaknya luar biasa, disamping efisiensi penggunaan solar atau mengurangi devisa yang hilanga kibat impor solar untuk digantikan biodiesel,” jelas dia.
Bahkan saat ini sudah memiliki inovasi teknologi B100 maupun green fuel yang menjadi bagian penting dari industri energi berbasis sawit. “Industri ini akan menjdi bagian penting pada 2045 utamanya biodiesel, pada saatnya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tapi ekspor seperti ini diharapkan Presiden kita tidak hanya mengekspor CPO tapi dalam bentuk energi,” terang Kasdi.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 121)