JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Selama 11 tahun perjalanan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), masih sedikit petani yang memperoleh sertifikat sawit berkelanjutan ini. Padahal, dua tahun lagi, kewajiban sertifikasi sawit bagi petani akan diberlakukan.
“Jumlah ISPO pekebun sampai saat ini baru mencapai sekitar 21 ribu hektar atau baru ada 32 sertifikat ISPO yang dimiliki kelompok tani. Saat ini, total luas perkebunan sawit rakyat mencapai 6,7 juta hektare,” ujar Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (PPHP), Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementan Prayudi Syamsuri.
Prayudi menjelaskan bahwa Perpres 44/2020 menyatakan lima tahun setelah terbitnya perpres atau tepatnya pada 2025) ada kewajiban pekebun menerapkan ISPO. Artinya perhatian terhadap ISPO pekebun baru dimulai dalam dua tahun terakhir.
“Rendahnya tingkat sertifikasi ISPO bagi pekebun swadaya membutuhkan percepatan. Sementara target penyelesaian sertifikasi ISPO bagi pekebun adalah tahun 2025,” kata Prayudi.
Menurut Prayudi, salah satu tantangan dalam legalitas lahan sawit rakyat adalah adanya indikasi izin sawit dan tutupan sawit yang berada di kawasan hutan. Selain itu, masih terdapat banyak konflik dan klaim tenurial dari masyarakat adat dan lokal terkait perkebunan sawit. Di sisi lain, lanjutnya, Uni Eropa, sebagai salah satu importir minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dari Indonesia telah memberlakukan berbagai aturan ketat terkait deforestasi.
Dijelaskan Prayudi empat langkah yang harus dilakukan untuk memenuhi aturan Uni Eropa yakni perlunya dorongan penyelesaian legalitas petani. Kemudian petani harus mendapatkan dukungan fasilitas dalam proses sertifikasi ISPO. Selain itu, perlu ada upaya penyelesaian konflik dalam izin perkebunan sawit serta pengakuan hak masyarakat adat harus dipercepat.